Beranda blog Halaman 54

Tuti, Dieksekusi Tanpa Pemberitahuan

Kamis, 1 November 2018, Social Movement Institute, Komisi Untuk Orang Hiang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) dan Amnesty International menggelar Aksi Diam Kamisan di Tugu Pal Putih, Yogyakarta. Aksi ini mengangkat isu seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Tuti Tursilawati, yang dieksekusi mati pada tanggal 29 Oktober 2018 di Arab Saudi.

Mengutip press release dari Komite Aksi Kamisan dan relawan Amnesty International Indonesia Yogyakarta, aksi tersebut menuntut pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan cepat dan tanggap untuk melayangkan protes pada pemerintah Arab Saudi dan menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apapun. Hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia telah melanggar hak untuk hidup yang dijamin dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional, dan Hak-Hak Sipil dan Politik.

Melalui kesempatan aksi tersebut, para relawan meminta kepada pemerintah Indonesia agar melakukan moratorium hukuman mati di Indonesia sebagai langkah untuk memudahkan diplomasi Indonesia di luar negri untuk menyelamatkan warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati.

Ari Wijayanto, selaku Koordinator Lapangan dalam Aksi tersebut mengatakan tujuan dari aksi tersebut adalah untuk mempertanyakan monitoring pemerintah, mengingat sudah banyak buruh migran yang bekerja di Arab Saudi dieksekusi mati di sana. Dari kasus ini mengingatkannya pada kasus yang sama pada buruh migran bernama Soleha, yang juga dieksekusi mati pada 30 September 1967 dan ia menyayangkan sudah 21 tahun kasus seperti ini masih tetap terulang.

Ia melanjutkan untuk kasus buruh migran, masih banyak buruh migran yang bekerja di luar negeri terutama di Malaysia dan Timur Tengah masih terkatung-katung dan tidak terdata. Hal ini akan berulang apabila peran pemerintah tidak maksimal pada pengawasan terhadap buruh migran. Ari juga berkata buruh migran di Arab Saudi sering dihukum mati dan pemerintah sering terlewat.

“Masalahnya, kita sudah ada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 dan Undang-Undang Hak Ekonomi, Budaya, Sipil, dan Politik yang dibentuk oleh pemerintah namun kenapa pemerintah tidak memenuhi tanggung jawab?” tutur Ari. Ia juga mempertanyakan bagaimana pemenuhan hak untuk hidup warga negara yang masih sulit dan masih menemukan masalah seperti ini. “Persoalan seperti ini seharusnya sudah hilang,” lanjutnya.

Sinergi Aditya, Relawan Aksi Kamisan dan Amnesty International, mengatakan bahwa tujuan dari aksi ini adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat terkait permasalahan Hak Asasi Manusia yang hari ini belum terselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Aksi tersebut juga bertujuan agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sadar akan permasalahan kemanusiaan di Indonesia yang belum terselesaikan. Adit berpendapat bahwa dari kesepakatan perjanjian internasional seharusnya ada ruang publik untuk berdiskusi untuk menyelesaikan masalah terkait kasus eksekusi mati Tuti Tursilawati. “Ibaratnya ini kan diadili sendiri dan tidak ada pemerintah Indonesia yang tahu terkait hal ini dan tiba-tiba Tuti sudah dipulangkan dalam keadaan meningal,” ujar Adit.

Pada tanggal 12 Mei 2010, Tuti Tursilawati ditangkap oleh kepolisian atas tuduhan membunuh ayah majikannya yang merupakan Warga Negara Arab Saudi bernama Suud Mulhaq AI-Utaibi. Tuti Tursilawati ditangkap sehari setelah peristiwa kejadian pembunuhan yang terjadi pada tanggal 11 Mei 2010. Tuti telah bekerja selama 8 bulan dengan sisa gaji tak dibayar 6 bulan.

Setelah membunuh korban, Tuti kemudian kabur ke Kota Mekkah dengan membawa perhiasan dan uang senilai 31,500 SR atau Rp126.699.840,- milik majikannya. Namun dalam perjalanannya kabur ke Kota Makkah, Tuti diperkosa oleh sembilan orang pemuda Arab Saudi dan mereka mengambil semua barang curian tersebut. Sembilan orang pemuda tersebut ditangkap dan telah dihukum sesuai dengan ketentuan hukum Arab Saudi.

Sejak ditangkap dan ditahan oleh pihak Kepolisian, Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, melalui satgasnya di Thaif bernama Said Barawwas telah memberikan pendampingan dalam proses investigasi awal di Kepolisian dan investigasi lanjutan di Badan Investigasi. Selama proses investigasi, Tuti mengakui telah membunuh ayah majikan dengan alasan sering mendapatkan pelecehan seksual.

Ari berharap agar pemerintah berani untuk melayangkan persona non grata kepada Duta Besar Arab Saudi, lalu meningkatkan pengawasan terhadap migran untuk melindungi para migran yang bekerja di Arab Saudi mengingat migran yang bekerja di Arab Saudi menghasilkan devisa yang banyak bagi Negara Indonesia. “Kalau masih mengharapkan tenaga kerja di luar, pengawasannya dong ditingkatkan. Kalau perlu Komnas HAM ditempatkan juga di Kedutaan Besar (Kedubes) untuk melaksanakan pengawasan disana,” tutur Ari.

Reporter: M. Rizqy Rosi M., Yustisia Andhini

Editor: Hana Maulina Salsabila

Suwarsono: Pekerjaan Utama Yayasan Itu Membangun Kekuatan Ekonomi

Pada buku Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia menerangkan bahwa Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (BW UII) adalah sebuah badan hukum yang bertujuan untuk menyelenggarakan dakwah islamiah melalui pendidikan, dengan mengembangkan ilmu amaliah dan amal ilmiah, dalam rangka melahirkan pemimpin-pemimpin umat dan bangsa yang mampu membawa rahmat bagi umat manusia.

Badan Wakaf UII memiliki empat organ kepengurusan, yaitu dewan pengurus, pengurus harian, kantor perbendaharaan, dan lembaha pengawas dan pengadilan.

Pada tanggal 10 Agustus 2018, Luthfi Hasan selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan BW UII melantik Suwarsono Muhammad sebagai Ketua Umum Pengurus Yayasan BW UII baru dan jajarannya untuk periode 2018-2023. Sebelumnya, Suwarsono merupakan Ketua Bidang Bisnis Yayasan BW UII pada tahun 2008-2013.

Suwarsono adalah dokter perusahaan yang kesehariannya berpofesi sebagai dosen di Fakultas Ekonomi, Magister Manajemen, dan Magister Teknik Industri di UII.

Suwarsono juga membuka perpustakaan pribadinya untuk umum sejak tanggal 27 Mei 2017. Perpustakaan tersebut berlokasi di bangunan yang terletak di atas tanah seluas 300 meter persegi di Yogyakarta. Perpustakaan tersebut memiliki buku berjumlah sekitar 3.500 buku. Sebagian besar buku tersebut berbahasa Inggris. Semua buku dikumpulkan dalam waktu kurang lebih 30 tahun. Banyak diantaranya yang dibelinya semaka kuliah di Amerika.

Reporter Himmahonline.id berkesempatan menemui Suwarsono Muhammad di kantor Yayasan BW di Jalan Cik Dik Tiro No 1. Selain Suwarsono, di kantor tersebut turut hadir juga Suharto selaku bendahara, Sularno selaku Ketua Pemberdayaan Masyarakat, dan Muqodim selaku Ketua Pengembangan Usaha Yayasan BW UII.

Mengapa pelantikan Pengurus Yayasan BW terkesan diam-diam atau tidak semeriah pelantikan rektor sebelumnya?

Pelantikan ya terkesan diam-diam, memang begitu BW. Jadi kami ini tidak perlu diekspos besar-besaran. Pemilihannya berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BW. Yayasan BW itu kan tiga macam yang pertama disebut pembina.

Itu di anggaran dasar jadi tidak kita karang-karang sendiri undang-undangnya juga mengatakan begitu. Yang kedua ada pengawas dan terakhir ada pengurus sehingga anggota pembina kita itu sekarang jumlahnya kurang lebih sekitar 30-an lebih gitu. Di Yayasan BW ini ada orang internal UII dan juga orang luar UII.

Bisa ada kemungkinan berubah keanggotaannya?

Ya kalau ada yang meninggal ya berubah, mundur berhenti ya kan? Dulu 37 anggota mungkin kan sudah ada yang meninggal, nanti kalau sudah meninggal atau berhenti ya diganti. Nah ,ketua umum seperti saya ini syaratnya harus menjadi anggota pembina dulu. Selain ketua pengurus kayak saya, ada ketua umum, ketua-ketua bidang, seperti bidang pendidikan, bidang bisnis, bidang pemberdayaan masyarakat, kemudian ada bendahara dan sekretaris.

Totalnya ada enam pengurus, dari enam orang ini yang disyaratkan menjadi ketua umum itu harus dari pembina kalau yang ketua bidang, bendahara, dan macam lainnya itu anggota pembina atau dosen tetap.

Pengurus Yayasan BW itu alumni UII semua?

Saya alumni UII, Pak Sularno alumni UII, Pak Muqodim alumni UGM. Dari enam pengurus Yayasan BW itu, yang alumni UII ada tiga, yang tiga lagi dari luar UII. Jadi, fifty fifty.

Apa yang akan Anda lakukan untuk kepengurusan BW ke depan?

Alhamdulillah ya Badan Wakaf selama kurang lebih 20 tahun ini semakin hari semakin baik. Pengertian semakin baik itu kalau yang ideal ya kinerjanya kinerja sebagai yayasan. Dilihat dari jumlah waktu yang kita berikan untuk yayasan juga semakin baik.

Kita berusaha mendekati yang ideal, itu caranya kita harus semakin kuat secara ekonomi. Pilar kita itu tiga ketua bidang tadi. Itu bidang pendidikan, bidang pemberdayaan masyarakat, kemudian bisnis. Semua itu untuk mendorong majunya pendidikan. Pendidikan di Badan Wakaf itu kan ada tiga ya, sekarang perguruan tinggi, SMA, PAUD, dan TK. Kalau kita berhasil membangun kekuatan ekonomi lebih besar maka diharapkan memiliki efek yang positif terhadap kualitas pendidikan yang dikelola oleh Badan Wakaf UII.

Nah, karena kita ini banyak urusan dengan universitas, SMA, dan PAUD, kemudian rumah sakit, hotel, bank, pom bensin, radio, apotek, dan lain-lain ya kita ingin semuanya baik-baik. Komunikasinya lancar. Kita ingin bekerja dengan cara-cara damai, inklusif gitu, ya tertutup, ya relatif terbuka.

Apakah akan ada perubahan yang signifikan dibanding sebelumnya?

Ya perubahan itu mesti terjadi. Dari kemarin kan sudah direncanakan ada proyek yang dilanjutkan dan ada yang baru. Misalnya, Rumah Sakit UII di Bantul itu kan sedang dibangun sekarang, ya kira-kira sudah 90% selesai fisiknya. Mungkin diharapkan pada bulan Oktober atau November bisa soft launching.

Kalau Badan Wakaf itu kan simpel saja, yang perlu top itu kan pendidikan, ya enggak? Kita ini kan dapur di belakang. Bukannya mau tertutup tetapi ada yang perlu diketahui masyarakat dan ada yang biasa-biasa saja. Rumah Sakit UII di Bantul investasinya juga besar, harus kalian jaga. Kami juga bekerja sama dengan yayasan Bulog untuk membangun RS Jogja International Hospital (JIH) di Solo.

Namanya tetap JIH?

Iya, di Solo namanya tetap JIH. Terus kami merencanakan juga membangun RS di Purwokerto. Jadi kami memilih kota-kota yang damai dari sisi persaingan, artinya belum dimasuki oleh RS-RS besar.

Itu yang RS Purwokerto masih perencanaan ya?

Tanahnya sudah ada, sudah beli, tapi belum didesain, tapi insyaallah pada tahun 2019 mungkin mulai perencanaan gitu ya.

Kenapa fokusnya hanya di RS? Enggak misalnya membuat SD atau SMP yang sesuai dengan pendidikan?

Badan Wakaf kan tidak harus dengan pendidikannya. SMU juga mau kita bangun, SMU juga mau kita pindahkan. Itu sudah ada tanahnya, kita mau bikin yang gagah kayak SMA Taruna gitu.

Nah, kan yayasan tuh pekerjaan utamanya tadi membangun kekuatan ekonomi. Bisnis yang sudah ngerti kita itu kan bisnis RS ya ndak? Bisnis hotel, bisnis bank, jangan melebar kemana-mana kan tidak ngerti ilmunya, ya jadi fokus RS saja diperbanyak. Kan sudah ngerti ya ndak? Kalau macam-macam malah enggak kuat pikirannya

Mengapa Yayasan BW kurang dalam publikasi situs web ataupun media sosial?

Ya tadi seperti yang disampaikan, kita itu lebih banyak di belakang layar. Ya nanti kita pertimbangkan untuk website karena itu informasi-informasi umum kan. Zaman sekarang kalau enggak punya website ya rodo kebangetan ya, agak saru ya.

Banyak respons yang mengatakan ini, UII bisnisnya banyak tapi SPP-nya kerap naik.

Itu dua hal yang berbeda.

Bisa dijelaskan?

Suharto : Jadi begini, untuk dana pendidikan ya. Kenapa itu naik terus? Satu, karena memang barangkali biaya-biaya juga ikut naik, mungkin ada kenaikan gaji, mungkin ada kenaikan harga macam-macam, kira kira seperti itu. Kemudian juga pembangunan yang ada terkait pendidikan, sekarang ada Fakultas Hukum, Fakultas Agama juga mau dibangun, rektorat juga berencana begitu. Nah, saya kira yang paling penting yang menjadi perhatian kita itu sebenarnya mungkinkah penggunaan uang itu inefisien?

Jadi konteksnya seperti itu, jadi sekali lagi kalau dana pendidikan itu ya hampir semua untuk pendidikan. Untuk pendidikan tadi itu ya sebagian mungkin untuk sosial. Ada sosial kalau misalnya lembaga-lembaga minta sesuatu kepada kita terkait ulang tahun, terkait apa ya kita juga studi di Lombok, ya kita juga punya dana, seperti itu. Jadi, ini sekaligus sebagai pencerahaan. Jangan kemudian, ‘Wah ini untuk bisnis terus ini?’ Ya ndak ini sama sekali.

Pernah ada salah satu komentar di postingan Instagram UII yang mengatakan bahwa pembangunan RS UII itu sebab ada pemutusan kerja sama dengan JIH. JIH tidak mau dijadikan tempat pendidikan dari Fakultas Kedokteran UII sehingga Yayasan BW menarik semua saham dan membangun RS di Bantul. Apakah itu benar?

Hoaks itu. Yang ada kita punya saham 100%. Tujuan pembangunan JIH itu sejak awal untuk mencari uang. Repotnya kalau anda lihat BUMN ya apa BUMD, itu kan ada fungsi bisnisnya, ada fungsi sosialnya, jadi satu, kan ruwet itu ya toh? Nah kita enggak ingin begitu. RS didesain dalam tanda kutip nih sebagai fungsi bisnis ya bisnis saja, gitu ya kan? Saham kita tetap 100%, enggak ada (pemutusan kerja sama-red) dan itu enggak bener. Itu RS maju sekali ya kan? Rugi kita nanti, ya toh? Itu kalau dijual saja dibeli orang.

Pada buku Sejarah dan Dinamika UII, keputusan tertinggi itu mutlak di Yayasan BW. Apakah memang benar semua, termasuk keputusan ketika UII melakukan pembangunan harus ada keputusan resmi dari Yayasan BW baru bisa dibangun?

Jadi begini, yang punya legalitas hukum itu yayasannya. Jadi universitas, fakultas, itu bukan legalitas hukum, karena yang punya legalitas hukum itu yayasan. Ya otomatis yayasan ini institusi yang punya hak untuk mengambil keputusan-keputusan, tapi bukan berarti semuanya ini kita putuskan.

Pilihan rektor kan berasal dari senat dulu, senat universitas, baru dikirim ke sini, kita sahkan legalitasnya di sini. Peraturan-peraturan juga gitu, mungkin kita punya usul peraturan, kita sahkan, mungkin bisa usulan datang dari universitas disahkan, mungkin peraturan tidak perlu dibawa ke sini, cukup jadi peraturan universitas, cukup jadi peraturan fakultas, cukup jadi peraturan rektor, peraturan dekan, gitu, ada jenjangnya sendiri.

Pada buku 9 windu UII, lirik pada Himne UII berubah di tahun 2002 dan kata Tri Dharma yang digunakan sejak 1977 berubah menjadi Catur Dharma itu, apa sebabnya?

Saya enggak tahu detailnya ya. Kami masih muda waktu itu. Kira-kira begini, UII itu kan harus beda dengan perguruan tinggi lain. Kalau kita sebut Tri Dharma ya sama dengan universitas-universitas lain. Kemudian yang membedakan kita apa? Ya agama Islam itu. Makanya kan Catur Dharma, yang keempatnya dakwah islamiah, di samping yang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Saya kira itu background-nya yang saya tahu ya. Background itu justru positif toh? Ciri khas bedanya UII dengan yang lain. Misalkan, kita mau membangun lembaga kebudayaan, masa yang punya lembaga kebudayaan cuma Kompas dengan Bentara Budayanya itu loh. UGM juga punya Lembaga Kebudayaan Koesnadi ya kan.

Nah kita mau bikin nih. Sudah mau kita pikirkan, dirapatkan baru sekali. Ya diharapkan pada bulan November sampai Desember nanti ada soft launching lembaga kebudayaan milik kita. Itu bagian dari dakwah dengan cara-cara yang lebih soft, gitu.

Rencananya dibangun di mana?

Di sini, di Cik Di Tiro. Nanti auditorium itu akan kita ubah sedikit supaya sekaligus bisa buat pameran, pentas-pentas, ya misalnya ada pameran tentang haji. Nah, nanti ada monografnya. Nanti kalau pamerannya sepuluh kali mungkin monografnya dua kali ya. Yang serius kita ambil dari yang sepuluh itu misalnya.

Karena dulu waktu berdirinya UII kan ada dua organisasi ya yang melatarbelakangi namanya MIAI sama Masyumi. MIAI itu Majelis Islam A’la Indonesia. Dia punya lembaga kebudayaan. Dia punya empat program utama sama dua program pembantu. Program utamanya itu mendirikan masjid, mendirikan Baitul Mal, kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Islam, kemudian mendirikan suara MIAI kaya pers gitu.

Nah, program tambahannya itu mendirikan perpustakaan Islam dan lembaga kebudayaan Islam. Nah, perpustakaan Islam itu yang dulu di Malioboro. Sekarang sudah tutup, dipindahkan ke UII.

Perpustakaan UII sekarang yang di kampus terpadu?

Bukan. Sebagian dari koleksi bukunya itu dipindahkan ke perpustakaan UII sehingga kami ingin membantu mewujudkan ide yang dulu pernah ada pada tahun 40-an itu, tahun 43 persisnya kira-kira.

Bagaimana hubungan jajaran pengurus, pembina dan pengawas Yayasan BW dengan pimpinan universitas?

Kami baik-baik saja, jadi kami sudah sering ketemu, kemarin terakhir ketemu. Itu kami punya prinsip ya tadi itu damai, komunikasi, terbuka, pokoknya kalau ada masalah dirapatkan bersama, saling menghargai.

Saling ngewongke-wong, ya kan, enggak boleh kita konflik, enggak boleh ya. Kalau organisasi itu diisi dengan konflik, ya malah enggak karu-karuan, malah terbuka keluar, capek, malu juga. Yang penting juga ya saling paham lah. Kami ini kan termasuk generasi yang sudah tidak terlalu tua kan, jadi beda ya, cara berkomunikasinya ya lebih enak itulah. Jadi tidak ada masalah. Sampai hari ini enggak ada. Alhamdulillah, semoga.

Sebelumnya sudah saling kenal dengan pimpinan universitas?

Oh ya, kenal akrab. Kita itu kan juga dosen di UII. Untuk mencapai posisi yang semakin tinggi itu kan belajarnya lama, tidak serta-merta jadi dosen muda terus jadi ketua umum, ndak ya to. Mereka juga pasti punya pengalaman berorganisasi, sudah kenal, sudah biasa rapat, sudah biasa ketemu, ya ndak? Jadi tidak mungkin orang muda di posisi tertinggi, ya ndak, gunanya itu.

Sebagai alumni UII, bagaimana Anda melihat lembaga kemahasiswaan hari ini?

Namanya anak muda itu ya normal lah kalau harusnya kritis, berjuang, berkeringat, sampai hari ini saya lihat oke. Sekarang zamannya orientasi bisnis anak muda cukup kuat di kalangan mahasiswa jadi pengusaha ya kan.Tapi kami takutkan adalah orientasi instan, semua ingin cepat.

Semua proses itu perlu belajar juga. Melatih kesabaran juga. Kan ndak bisa umur 30 jadi direktur utama, tapi kalau secara umum dibandingkan dengan mahasiswa swasta lain, ya kita lebih baik. Mahasiswa masih aktif, masih punya pers, masih punya rencana tahunan setiap tahun ada rapat mahasiswa.

Yang kurang mungkin ini tidak hanya di UII ya, enggak cuma mahasiswa UII ya. Mahasiswa Yogyakarta itu dikenal satu, enggak bisa Bahasa Inggris. Dua, enggak bisa menyetir mobil. Tiga, setia jadi alumni kalau kerja di perusahaan itu ya kerasan di situ, loyal. Beda dengan alumni ITB, alumni ITB itu bisa Bahasa Inggris, bisa menyetir mobil, ya mungkin itu lingkungan ya, lingkungan itu pengaruh.

Mahasiswa UII juga enggak, mungkin yang perlu ditambah yang positif-positif tadi itu. Di samping suka berorganisasi, kompetisinya juga ditambahin, itu enggak mudah juga, kan zaman sedikit berubah. Kalau zaman dulu, namanya kuliah umum itu wah ideologi. Sekarang kuliah umum itu ada kewirausahaan gitu, iya kan, jadi memang zamannya sudah berbeda ya, tapi kami masih okelah, ditambah sedikit saja.

Sebelumnya, Anda pernah menjadi penasihat KPK dan mundur bertepatan dengan kasus kriminalisasi Abraham Samad dan Bambang Wijayanto. Bagaimana cerita sebenarnya?

Saya mundur setelah kasus kriminalisasi itu selesai. Kasusnya kan terjadi pada bulan Desember 2014. Nah kira-kira bulan Maret sampai April itu sudah selesai artinya tidak ada permasalahan lagi kasus itu sudah selesai sudah tenang. Kemudian saya mundur bulan Mei atau Juni gitu ya karena ketidakcocokan. Ketidakcocokannya tidak usah diceritakan ya, saya belum pernah cerita untuk pers, ndak enak buat diceritakan.

Kemudian setelah ketidakcocokan itu mendingin gitu, saya ditarik kembali menjadi redaktur di KPK sampai sekarang. Saya juga punya tugas kayak saudara ini. Misalnya, kemarin redaktur ini juga menerbitkan Jurnal Integritas. Alhamdulillah jurnal kita sudah bisa dinikmati. Baru selesai semalam hari ini karena saya menjadi salah satu redaktur pelaksana di jurnal ini.

Setelah saya berhenti dari penasihat kemudian suasana di KPK sudah lebih damai, nah saya diminta masuk kembali. Cuma orang ndak banyak tahu. Yang diketahui berhenti setelah penasehat dan tidak kembali.

Sampai sekarang masih pak menjadi redaktur?

Masih-masih. Dengan pegawai KPK saya ndak ada masalah apa-apa tapi saya punya masalah ya dengan pimpinan KPK pengganti pak Abraham.

Pertanyaan terakhir, Anda banyak nulis buku dan jurnal. Adakah salah satu buku atau jurnal yang sangat direkomendasikan dibaca oleh mahasiswa?

Ya buku yang saya suka itu yang paling baru itu. Buku saya banyak ada sepuluh atau sebelas. Yang saya paling suka sekarang itu yang Arab Kuno dan Islam: Dari Kapitalisme Perdagangan ke Kapitalisme Religius. Nah, itu yang saya paling suka karena menurut saya buku itu bercerita tentang ya agak beda lah tentang bagaimana Islam itu berkembang di Arab dan bagaimana Islam berkembang di tempat lain. Saya inginnya melanjutkan tapi belum sempat.

Reporter: Dhia Ananta, Multazam, Dinda Tri Lestari

Editor: Niken Caesanda R

Profesi Meluncurkan Majalah dan Diskusi Tentang Data di Era 4.0

Himmah Online, Kampus Terpadu –Sabtu, 20 Oktober 2018, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Profesi meluncurkan majalah dan menyelenggarakan diskusi dengan tema yang sama, “Memahami Data di Era 4.0”. Acara yang berlangsung di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito lantai dua ini dimulai pada pukul 13.00 dengan pembicara Yudi Prayudi dari Kepala Pusat Studi Forensik Digital dan Nasrul Haqqi selaku Pemimpin Redaksi LPM Profesi.

Johan Aiman selaku ketua panitia peluncuran majalah dan diskusi mengatakan bahwa pengambilan tema “Memahami Data di Era 4.0” berdasarkan rapat isu yang diadakan oleh pengurus LPM Profesi. Tema ini diambil dengan pertimbangan keterjangkauan narasumber, referensi, serta pengkajian isu yang ada.

“Kemudian sudut menariknya terdapat pada persoalan data yang terus berkembang, berapa banyak data yang dihasilkan, batasan data, dan manfaat yang diperoleh dari penggunaan data tersebut menjadikan tema tersebut diangkat,” ucap Johan.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan materi yang dijelaskan oleh Yudi Prayudi. Yudi mengawali dengan penjelasan pemahaman evolusi komputer yang berawal dari tahun 60-an hingga ke tahun 2020. Komputer pada tahun 2020 diprediksiakan semakin berkembang terutama pada Internet of Things (IoT).

“Dengan IoT maka sebuah komputer cukup diwakilkan oleh seperangkat alat kecil saja seukuran kartu yang memiliki semua kemampuan komputer besar,” jelasnya.

Hal ini juga menjadi suatu paradoks perkembangan teknologi dari tahun 60-an dimana satu sisi arah komputer akan mengerucut dari mainframe ke dunia IoT yang digadang-gadang lebih efisien. Namun, disisi lain ada kebutuhan yang kemudian berkembang, yaitu kebutuhan menangkap data.

Sehingga dari satu aspek alat itu semakin mengecil tetapi dari aspek lain data semakin membesar sehingga dua aspek ini mengandung paradoks. “Dari sisi fisik mengecil, namun dari output atau data semakin membesar,” ucap Yudi.

Yudi melanjutkan bahwa alat-alat harus mengikuti untuk membantu menopang perubahan yang lebih besar pada perkembangan komputer. Contohnya ialah dalam proses interaksi sistem, dulu kita masih menggunakan sistem keyboard tetapi sekarang interaksi sistem berubah dengan kemunculan sistem swipe yang menjadikan kemudahan interaksi sistem tercapai.

“Komputer memiliki masa depan dengan penerapan yang efisien. Diharapkan perkembangan komputer menjadi smarter, faster, safer, dan greener,” ucap yudi. Dari empat hal tersebut yang paling terpenting ialah greener dimana untuk menghadapi isu global warming, perkembangan komputer diharapkan dapat menuju ke green computing.

Bagi Yudi, masyarakat mengenal dirinya sebagai homo sapiens, tetapi dengan perilaku gaya hidup manusia yang berubah di zaman sekarang, istilah tersebut seolah berubah menjadi techno sapiens, yaitu ketergantungan terhadap teknologi. Dari kondisi tersebut munculah semesta digital yang begitu besar, yaitu perpaduan segala hal yang berkaitan dengan interaksi manusia dalam dunia digital yang akhirnya berujung kepada data.

Kemudian dilanjutkan dengan cyberspace. Cyberspace merupakan kemampuan manusia untuk mendigitasi data untuk membuat, menyimpan, dan membagikan data. “Cyberspace diyakini sebagai sebuah ruang walaupun tidak tampak, tetapi tampak nyata dikarenakan di dalam cyberspace dapat berdampak kepada kehidupan langsung kita,” ujarnya.

Yudi mencontohkan satu bukti dari dampak cyberspace terhadap kehidapan langsung ialah pada the powersocial graph. Berangkat dari permasalahan Facebook yang tercuri datanya oleh Cambridge, Yudi memaparkan bahwa dengan the powersocial graph, data yang tersambung antar para pengguna Facebook melakukan aktivitas seperti mem-posting, membuat status, dan sebagainya begitu bernilai.

Hal tersebut dikarenakan aktivitas seperti persamaan membuat status, mempublikasikan foto, dan lainnya dapat dipetakan sehingga memunculkan keuntungan yang dimanfaatkan oleh digital marketing untuk mengetahui sektor potensi pasar yang ingin dijelajahi.

Menurut Yudi, kita tengah menghadapi era networking society dimana kita hidup di era serba terkoneksi. Pada dasarnya networking society memiliki manfaat untuk meningkatkan efisiensi dalam bekerja. Namun, di sisi lain saat kita serba terkoneksi, data maupun akun yang kita miliki tidak kita jaga maupun amankan dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindakan kejahatan.

“Kita dengan mudah mendapatkan data jika terkoneksi internet dengan berbagai interface yang ditawarkan mempermudah kita dalam memperoleh data,” ucap Yudi.

Data juga termasuk dalam kebutuhan dan tantangan di industri 4.0.Yudi menjelaskan bahwa sistem manufaktur menjadikan suatu kesatuan yang harus ada pada era sekarang. Terdapat sembilan hal yang tersentralisasi dengan industri 4.0 dan dua hal yang paling penting ialah big data dan IoT. IoT merupakan sumber awal pengambilan data sedangkan big data ialah tempat untuk mengolah maupun penganalisan data tersebut.

Big data adalah suatu istilah yang sebenarnya didasarkan pada semesta digital yang sekarang berada di daerah domain besaran terabyte. Menurut Yudi, pada tahun 2020 diprediksi kita akan berada di daerah domain yang besarannya zettabyte (40x 1021). Kemudian big data merupakan sebuah upaya untuk menuju 4V yang terdiri dari volume (Ukuran), velocity (kecepatan), veracity (Sumber), dan variety (Variasi).

“4V big data ialah bagaimana mengolah data yang begitu besar dengan kecepatan, sumber, format, dan variasi yang berbeda-beda yang diolah menjadai satu sumber yang berharga untuk kita,” ucap Yudi.

Selanjutnya, Yudi mengemukakakan tiga kategori data, yaitu data terstruktur, semi struktur, dan tidak terstruktur. Data terstruktur ialah data-data yang sudah jelas dan format-formatnya bisa terbaca sedangkan data tidak terstruktur seperti data yang ada di media sosial karena media sosial menawarkan berbagai macam hal seperti unggah foto, membuat status, dan lain sebagainya yang tidak terstruktur. Sementara data semi struktur ialah data yang diriset untuk kepentingan aplikasi yang dapat dimanfaatkan.

“Pengolahan maupun penganalisaan data ialah sesuatu yang dulunya tidak terpikirkan sebagai jawaban bisa dimunculkan dengan big data,” jelas Yudi. Selain IoT dan big data, terdapat analytics yang merupakan proses mengubah data menjadi pengetahuan yang berharga. Segala data dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan serta kemudahan untuk memperoleh manfaat darinya, seperti untuk kepentingan politik yang mengharuskan pemanfaatan data analytic untuk memperoleh banyak informasi agar tidak ketinggalan.

Pada materi selanjutnya, Nasrul Haqqi menjelaskan bahwa majalah Profesi ini merupakan edisi ke-3 dari LPM Profesi tahun 2018 dengan mengangkat tema “Memahami Data di Era 4.0”. Nasrul memberikan pemaparan serta proses pembuatan majalah LPM Profesi yang perencanaan penggarapan sejak desember 2017,

Sebelum proses penggarapan dilakukan rapat tema. “Kita berusaha untuk mengajukan tema yang menurut kita cocok dan berdasarkan kesanggupan masing-masing. Tema yang dibawakan biasanya diperoleh dari teman-teman Fakultas Teknik Industri yang membahas mengenai keteknikan,” ucap Nasrul.

Terkait “Memahami Data di Era 4.0”, Nasrul menekankan bagaiamana kita lebih berhati-hati terhadap data yang kita miliki, kebanyakan orang-orang tidak peduli terhadap daya yang mereka miliki sehingga dengan gampangnya dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Diharapkan para pemilik data lebih memahami penggunaan serta keamanan data sehingga lebih cerdas dan bijak dalam menggunakan data.

Reporter: Farrel Alfaiz, Janeeta Filza A

Editor: Nurcholis Maarif

Aksi Diam, Maraknya Pelecehan Seksual Terhadap Anak

Himmah Online, Yogyakarta –   Kamis, 16 Oktober 2018, 20 orang dari organisasi mahasiswa dari Amnesti International, Sosial Movement Institute, Kontras, dan Dewan Mahasiswa Justitio Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar aksi dengan tema “Aksi Diam Anak-anak Kita Dalam Bahaya”. Aksi yang berlangsug di Tugu Pal Putih Yogyakarta tersebut dimulai pada 16.00 sampai 17.30.

Ari Wijayanto, selaku koordinator aksi mengatakan bahwa latar belakang terselenggaranya aksi ini adalah pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang diperkosa lalu mayatnya dibuang pada 30 September 2018 oleh tetangganya sendiri setelah pesta minuman keras. Hal tersebut merupakan tindakan yang sangat brutal yang terus terjadi berulang kali.

Menurut Ari, negara cenderung abai akan perlindungan terhadap anak dan upaya dalam bentuk pengawasan dari negara dan pengawasan dari orang tua terhadap anak perlu dipertanyakan kembali. Akar utama permasalahannya mungkin berkaitan dengan masalah ekonomi yang terkadang ketika kebutuhan biologis sudah terpenuhi dan tidak memiliki penghasilan ekonomi yang sesuai sebagian masyarakat cenderung kehilangan norma dan melakukan perbuatan tindak pidana sangatlah mudah.

Ari mengungkapkan selain kasus pemerkosaan terhadap anak, masih banyak kasus-kasus terhadap anak yang sangat memprihatinkan. “Kasus klitih-klitih yang sering terulang dan kasus bullying yang masih saja terus terjadi dan juga sistem asal nerima budaya dari luar,” ucap Ari. Padahal menurut ari, kekerasan terhadap anak merupakan tanggung jawab negara dan seharusnya negara menyelesaikan permasalahan seperti ini dengan serius dengan melakukan tindakan prepentif.

Pada aksi ini, massa aksi menuntut upaya dari pemerintah untuk dapat mengatasi tindakan-tindakan kekerasan seksual terhadap anak dapat diselesaikan. Massa aksi pun ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Yogyakarta bahwa Jogja sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Ari pun mengharapkan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak terdengar lagi dan hilang. “Karena mereka adalah calon penerus bangsa, jadi kasus seperti itu bisa membawa impact psikis karena hal-hal seperti ini bisa membuat anak-anak menjadi depresi,” lanjutnya.

Reandy Summa dari Dewan Mahasiswa Justitio FH UGM menjelaskan aksi kolektik yang digelar dalam bentuk demonstrasi yang diselenggarakan di tugu ini merupakan aksi simbolik yang tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran dan menyebarkan keresahan kepada masyarakat bahwa kekerasan seksual tehadap anak ini merupakan isu yang mulai marak terjadi.

”Kami dari teman-teman Dewan Mahasiswa Justitio FH UGM ingin menaruh ingatan, menyebarkan keresahan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait isu kekerasan seksual yang tejadi,” ucap Reandy.

Reandy pun menjelaskan kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat bahkan di level kampus pun kekereasan seksual mulai banyak.”Dalam tatanan kampus pun juga banyak yang sudah pernah terkena kekerasan seksual oleh temannya tapi dia tidak berani ngomong jadi aksi ini merupakan bentuk rasa kemanusiaan kita benar benar tergerak,” jelasnya.

Reandy mengungkapkan aksi ini merupakan bentuk penekanan upaya-upaya penyelesaian mengenai kasus kemanusiaan yang harus diselesaikan. “Kasus yang dialami oleh salah satu anak di bawah umur di Jogja merupakan kasus yang sangat menyedihkan dan menyakitkan dan kami ingin memberikan peringatan maraknya kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini,” ucap Reandy.

Reandy juga menambahkan bahwa kultur yang ada di dalam masyarakat yang menganggap remeh kekerasan seksual seperti ini perlu disadarkan. Pemerintah sebagai organisasi kekuasaan yang diberikan wewenang oleh masyarakat harus segera melakukan tindakan tegas yang implementasinya bisa melalui peraturan-peraturan. “Peran masyarakat disini hanya mengkritik, peran masyarakat itu adalah dimana ada kekuarangan dimana ada hal-hal yang menjadikan konsen dan disitulah itu disuarakan,” ucapnya.

Reandy pun mengharapkan bahwa kekerasan seksual seperti ini tidak terdengar lagi dan tinggal mencari langkah bagaimana kasus-kasus untuk dapat menanggulangi kekerasan seksual tidak terulang kesekian kalinya dan penanganan terhadap korban yang merupakan peran masyarakat seluruhnya. Hal tersebut menurut Reandy bisa dilakukan melalui kajian,diskusi ataupun propaganda-propaganda yang sisebarluaskan untuk dapat memperingatkan masyarakat.

Adi Fadiela selaku masyarakat Yogyakarta menanggapi aksi yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi mahasiswa mengenai kekerasan seksual terhadap anak. Menurut Adi, sebenarnya zaman sekarang mempengaruhi aksi-aksi kekerasan seksual seperti itu sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan dan sosial juga serta ekonomi bahwa pikiran sebagaian orang sangat mudah untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan seperti itu.

Adi pun mengapresiasi aksi yang diselenggarakan oleh teman-teman mahasiswa yang masih peduli kepada lingkungan sosial.”Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian mahasiswa yang sangat bagus terhadap kasus sosial yang terjadi di masyarakat,” ucap Adi.

Reporter: Ridwan Fariz Maulana

Editor: Hana Maulina Salsabila

Negara Israel, Si Kecil Cabe Rawit

Judul : Start-up Nation Kisah Keajaiban Ekonomi dan Inovasi Israel (Start-up Nation The Story of Israel’s Economic Miracle)

Penulis : Dan Senor dan Saul Singer

Penerjemah : 

Penerbit : Duta Pratama Utama

Tahun Terbit : 2011

Tebal : 320 halaman

Apa yang berada di pikiran kita semua ketika mendengar negara Israel? Yahudi, perang, konflik berkepanjangan dan lain sebagainya. Namun, bagaimana bisa negara kecil ini mampu meningkatkan perekonomiannya? Dan bagaimana bisa ada 63 perusahaan yang melantai di bursa saham NASDAQ? Jumlah ini tentunya merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan negara lain di dunia.

Apa yang menjadi pendorong mereka untuk maju dengan sumber daya alam rendah tapi mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia? Menurut penulis jawabannya adalah wajib militer. Sejak umur 17 tahun, seluruh remaja Israel menghadapi tekanan karena mereka mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam unit–unit militer yang ada. Baik masuk kursus pilot, masuk unit pengintaian, dan unit yang selektif, yakni pasukan khusus. Wajib militer mengajarkan nilai-nilai bertahan hidup dan juga mengajarkan agar selalu tangguh menghadapi masalah apapun.

Dalam kehidupan bermasyarakat, orang yang terpandang atau dianggap hebat, bukanlah atas strata pendidikan atau pekerjaan melainkan dari wajib militer dimana masuk ke dunia unit militer atau satuan mana yang diterima saat itu. Wajib militer juga menjadi sarana berbaur dengan sesama anggota bahkan menjalin koneksi saat tidak lagi di militer. Semakin elit satuannya, maka semakin harum pula namanya di masyarakat.

Shvat Shaked dan Saar Wilf contohnya, mereka merupakan pendiri dari Fraud Sciences, sebuah perusahaan yang mengembangkan sistem anti penipuan dalam bisnis daring. Mereka berdua merupakan alumni Unit 8200, sebuah unit korps intelijen Israel yang bertanggung jawab atas pengumpulan data elektronik beserta sandi-sandinya. Kini, Fraud Sciences telah diakuisisi oleh PayPal seharga 169 juta dolar.

Selain Unit 8200, ada juga yang tidak kalah elit lainnya, yakni program Talpiot. Talpiot itu sendiri dalam Kitab Kidung Agung Alkitab yang merujuk ke menara kecil sebuah kastil. Istilah ini mengandung arti puncak pencapaian. Keunikan dari program Talpiot sendiri adalah unit yang paling selektif dalam melakukan rekrutmen juga menugasi para prajurit ke pusat pelatihan yang paling lama.

Ide pembentukan program Talpiot sendiri berawal dari Perang Yom Kippur tahun 1973 oleh dua orang ilmuwan yakni Felix Dothan dan Shaul Yatziv. Pengalaman dari perang itulah yang kemudian menjadi cambuk bagi Israel bahwa mereka sadar dengan jumlah penduduk yang sedikit dengan lahan area yang kecil pula perlu diimbangi dengan penguasaan teknologi yang kuat agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki.

Selain dari sokongan Militer terhadap kemajuan Israel masa kini, budaya masyarakat juga turut mempengaruhi. Penulis membandingkan negara-negara yang mirip situasinya dengan Israel, yakni Korea dan Singapura. Kedua negara tersebut sama-sama negara maju yang cukup diperhitungkan di kancah global. Ketiga negara tersebut juga menerapkan wajib militer dalam sistem pertahanan nasionalnya. Namun, kedua negara tersebut tidak menghasilkan inovasi dan perusahaan rintisan, sebanyak Israel, mengapa?

Dalam budaya Israel, ada pemikiran rosh katon dan rosh gadol. Perilaku rosh katon yakni menafsirkan perintah sesempit mungkin dan berusaha menghindari tanggung jawab yang lebih. Sementara rosh gadol berarti berusaha mengikuti perintah tetapi dilakukan dengan cara seefektif mungkin dan lebih menekankan improvisasi daripada hanya sekedar melaksanakan sebuah perintah. Perilaku rosh gadol lebih ditekankan kepada semua orang meskipun orang tersebut merupakan seorang bawahan.

Penulis mengambil contoh Singapura sebagai negara yang sangat teratur dari segi pemerintahan hingga kehidupan bermasyarakat. Seperti keinginan para pendiri bangsanya terdahulu. Masyarakat diajarkan berperilaku sopan, tidak mendebat, dan lain sebagainya. Sikap tersebut sangat diterima di Singapura, namun tidak bisa diterima di Israel.

Tal Keinan, seorang pilot militer angkatan udara Israel dan lulusan dari Harvard Bussiness School, percaya bahwa perdebatan serius dan evaluasi dari suatu permasalahan dapat mengatasi suatu hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Dalam unit militer Israel, rupanya setiap hari-harinya adalah percobaan dan apabila percobaan telah selesai terjadi tanya jawab serius oleh para perwira dan juga para anggota tim yang terlibat. “Tanya jawab itu sama pentingnya dengan latihan atau perang sungguhan. Setiap latihan, baik uji terbang, simulasi, maupun operasi, dibuat seperti sebuah percobaan untuk diperiksa dan diperiksa lagi dan diperiksa ulang, terbuka bagi informasi baru, dan takluk pada debat yang kaya dan sengit. Begitulah kami dilatih.” Ungkap Tal.

Selain budaya suka berdebat, rupanya budaya mentalitas dan multi-tugas sangat umum di Israel. Doug Wood adalah wakil direktur pengembangan dan produksi animasi di berbagai perusahaan seperti Turner, Warner Brothers, dan Universal. Ketika datang ke Israel dalam rangka proyek animasi, Wood bertemu dengan seorang mahasiswa grafis yang paham akan aspek teknis suatu masalah, dan rupanya mahasiswa grafis tersebut juga seorang pilot pesawat tempur. “Mahasiswa seni ini? seorang pilot pesawat tempur?” ungkap Wood dengan keterkejutannya seolah semua unsur bertabrakan dan berkolaborasi satu sama lain.

Tal Keinan tidak terkejut dengan hal tersebut, bahkan ia menganalogikan Angkatan Udara Israel sebagai jeep using dengan banyak peralatan. Sementara angkatan udara lain dirancang seperti mobil Formula1. Apabila pada trek yang pendek, jelas mobil Formula1 yang akan menang tetapi dengan peralatan usang dan metode taktik yang benar akan menuntun kita menuju jalan kemenangan.

Multi-tugas juga mengakar pada inovasi Israel masa kini. Gavriel Iddan salah satunya, yang merupakan seorang insinyur roket di perusahaan Rafael, salah satu kontraktor pertahan IDF. Iddan faham betul mengenai optic, dimana sebuah roket dapat menghantam tepat pada sasarannya. Bisakah menggabungkan teknologi di dalam roket yang dikembangkan untuk dunia medis?

Jawabannya, bisa. Iddan mempunyai ide tersebut, caranya dengan menggabungkan konsep yang ada dalam teknologi roket dan optic kamera, untuk membuat pil, yang secara langsung dapat mengirim gambar-gambar dari dalam tubuh manusia. Dari ide tersebut, ia kembangkan menjadi sebuah perusahaan yang bernama Given Imaging.

Pada tahun 2001, perusahaan tersebut menjadi perusahaan pertama di dunia yang go-public sesudah serangan 9/11. Sejak tahun 2004, enam tahun sesudah pendiriannya, perusahaan tersebut telah menjual 100.000 pil ke seluruh dunia dan terus meningkat sampai sekarang.

Kisah tersebut tidak hanya sekedar peralihan teknologi sipil ke militer atau sebaliknya melainkan adalah contoh bagaimana kekuatan kreativitas, dicampur dengan budaya yang telah mengakar menjadikan suatu inovasi berharga dan bernilai jual yang cukup tinggi. Campur aduk seperti ini adalah cawan khusus bagi segala inovasi-inovasi. Nyatanya, studi dari Universitas Tel Aviv mengungkap bahwa paten-paten yang berasal dari Israel, secara global dibedakan karena mampu mengutip rangkaian paten lain yang mengikutinya dalam jumlah tertinggi.

Apa yang bisa kita contoh dari Israel? Meskipun kita memang tidak memiliki hubungan diplomatis dengan negara kecil ini, kita bisa mencontoh dari etos kerja bangsa yahudi ini, kecil-kecil namun cabe rawit. Walaupun kecil tapi memiliki efek getar yang luar biasa. Saya cukup terkesan bagaimana mereka bisa menang perang enam tahun, padahal dari segi persenjataan mereka kalah sangat jauh dibanding negara-negara Arab yang menjadi seteru mereka.

Mereka berperang dengan otak, bukan dengan bombardir, membabi buta tanpa perencanaan yang jelas. Prajurit Israel didoktrin dengan pola pikir rosh gadol, yang menekankan aspek inisiatif dibandingkan rantai komando yang kaku, yang diterapkan pada negara-negara musuh utama Israel.

Selain inisiatif yang amat ditekankan, berani bereksperimen pada semua hal juga patut dicontoh. Berani mencoba dan tidak takut salah pada situasi apapun adalah prinsip dasar dalam mengembangkan sesuatu, baik usaha maupun dalam dunia militernya. Contohnya cerita Tal Keinan mengenai budaya debat antar perwira dan prajurit mengenai evaluasi latihan maupun situasi perang sungguhan yang menurutnya juga elemen terpenting selain alutsista dan lainya.

Mencari alasan tentang situasi yang buruk tidak dapat diterima dan membela hal yang telah dilakukan juga tidak popular. Jika kita membuat sebuah kesalahan, tugas kita adalah memperlihatkan pelajaran yang telah dipelajari karena tidak ada yang dapat dipelajari dari orang yang sangat defensif.

Terakhir, dengan membaca buku ini bukan berarti kita mengikuti ideologi bangsa Israel. Namun yang perlu dicatat adalah bagaimana kita mengikuti etos semangat bangsa Israel dalam memajukan perekonomian dan budaya inovasinya yang maju. Kita dapat menyimak bagaimana mereka berani mengambil resiko yang notabene mereka sudah cukup mapan pada posisi tertentu.

Kalang Kabut Sepak Bola Indonesia

Judul : Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut; Kisah-Kisah dari Pinggir Lapangan

Penulis : Miftakhul F.S.

Penerbit : Indie Book Corner

Tahun : 2015

Tebal      : i-viii + 182 halaman

Sepak bola Indonesia hingga saat ini masih begitu-begitu saja. Dalam arti, masih jauh dari kata memuaskan. Baik dari segi prestasi level dunia maupun level paling rendah, di Asia Tenggara. Pun dari induk sepak bolanya yang bobrok.

Sepak bola bukan hanya pertandingan antar 11 pemain melawan 11 pemain saja, melainkan seluruh elemen masyarakat turut andil begitu peluit dari wasit ditiupkan. Dalam pengantarnya, Miftakhul F.S. yang biasa dipanggil Fim mengatakan, “Sepak bola memang tidak akan habis untuk dibahas. Sebab, inilah olahraga yang menjadi lingua franca bagi warga dunia yang terpisah secara etnis, agama, budaya, ataupun ideologi.”

Dalam buku ini Fim yang bekerja sebagai wartawan olahraga mampu mengangkat sekumpulan cerita sepak bola dari pinggir lapangan. Fim mampu menceritakan dengan gaya bahasa yang ringan, detail, dan sesuai dengan suasana. Tulisan-tulisannya membuat para pembaca seakan hadir dalam setiap cerita.

Buku ini diawali dengan cerita yang berjudul “Rindu dan Kenangan yang Masih Basah”. Dalam cerita ini, Fim mengajak kita untuk kembali mengingat bahwa Indonesia pada 4 Desember 1991 atau 27 tahun yang lalu di Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina, pernah mencatatkan sejarah meraih medali emas SEA Games 1991 untuk kali pertama di negeri orang. Sebelumnya Indonesia juga pernah meraih medali emas pada SEA Games 1987 di Jakarta. Kala itu Indonesia berhasil mengalahkan Thailand dengan skor 4-3 melalui drama adu penalti.

“Kemenangan yang tidak terlupakan. Begitu pula stadionnya. Tempatnya memang biasa, tapi momentumnya sangat istimewa,” tutur Sudirman yang merupakan bagian tim yang merebut kemenangan malam itu kepada Fim. Fim menceritakan kondisi stadion yang pernah menjadi saksi sejarah bendera Indonesia pernah berkibar tinggi. Menurut Fim, stadion bersejarah tersebut kini menjadi tempat yang begitu kusam, kaca jendela-jendelanya tak lagi bening, dan bau pesing yang menyengat. Kondisi stadion ini mengingatkan saya pada Stadion Banteng yang berada di Kota Tangerang. Kondisinya mirip seperti Stadion Rizal Memorial. Banyak rumput liar yang menghiasi stadion legendaris Indonesia tersebut, kondisi tribunnya pun kotor. Pantas saja jika prestasi Persita dan Persikota Tangerang tidak kunjung membaik karena tempat latihannya saja tidak layak. Kembali ke Stadion Rizal Memorial, Fim mengatakan stadion tersebut tetap sangat berarti bagi sejarah sepak bola Indonesia. Kemenangan pada malam itu sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia.

Selanjutnya yang menarik perhatian lainnya adalah cerita berjudul “Juara yang Ternoda”. Menurut Fim, kemenangan ini adalah kemenangan yang tak biasa. Indonesia berhasil keluar sebagai juara setelah Libya yang menjadi lawan di partai pamungkas tidak melanjutan pertandingan alias walk out (WO). Pelatih tim sepak bola Libya, Gamal Adeen Abun Nowara mengaku menjadi korban pemukulan oleh ofisial Indonesia, yakni pelatih kiper Sudarno. Karena perlakuan itulah Libya enggan untuk melanjutkan pertandingan.

Namun pelatih sepak bola dari Indonesia, Benny Dollo malah tidak mengetahui soal insiden tersebut. “Demi Tuhan, saya tidak berada di tempat kejadian tersebut. Sebab, saya tidak berada di tempat kejadian. Karena itu, saya tidak bisa mengemukakan pendapat saya tentang klaim Libya,” sebut Benny Dollo. Saya pribadi bahkan hampir seluruh masyarakat Indonesia sepakat oleh apa yang dikatakan Fim bahwa, entah kemenangan itu layak dibanggakan atau tidak, tetapi yang jelas masyarakat masih tampak haus dan rindu gelar juara.

Fim juga mengkritisi soal jumlah kaos yang digunakan saat pertandingan. Dia pernah meminta kaus Evan Dimas sewaktu selesai pertandingan, namun Evan menolaknya. “Maaf mas, kaosnya masih dipakai lagi,” jawab Evan halus. Fim tak menyangka bahwa urusan kecil seperti kostum masih bermasalah. Padahal persediaan sudah disokong sponsor, seharusnya PSSI menyediakan minimal dua kaos yang sama untuk satu pemain.

Pada cerita yang berjudul “Kostum” ini, Fim bertemu Jackson F. Tiago yang kini menjadi pelatih Barito Putera. Pelatih asal Brazil tersebut mengalami hal yang sama dengan Evan. Jackson merasa malu ketika ia tidak bisa memberikan ibunya jaket sebagai tanda telah melatih timnas.

Contoh lainnya ketika Hargianto mengenakan jersey yang berbeda ketika melawan Persijap U-21 (17/2/2014), Hargianto saat itu menggunakan jersey dengan nomor 30, padahal nomor punggung yang biasa dikenakan adalah nomor delapan. Hal tersebut dikarenakan jersey sebelumnya robek dan tidak ada cadangan.

Fim juga menceritakan dunia sepak bola di Indonesia masih lekat dengan ‘dunia lain’. Melalui cerita yang berjudul “Gado-Gado dan Mistisme Sepak Bola”, Fim pernah diminta pelatih ketika hendak masuk lapangan dari arah yang sesuai dengan hitungan Jawa pada hari itu. Ada juga yang mamakai benda-benda yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola, seperti garam yang dibungkus kain, minuman yang telah diberi doa kemenangan, bahkan harus makan gado-gado.

Para pemain asing pun banyak yang melakukan ritual-ritual yang tidak ada kaitannya dengan sepak bola. Seperti Neymar ketika hendak masuk lapangan hijau, Neymar selalu mendahulukan kaki kanannya ketika masuk lapangan. Selain mendahulukan kaki, Neymar juga menundukan badan sembari tangannya memegang rumput lalu berdoa.

Pun dengan Ronalda. Pemain berusia 33 tahun yang belum lama bergabung dengan Juventus memiliki ritualnya sendiri. Ronalda selalu duduk di kursi bagian belakang ketika berada di bus. Ia juga selalu menata kembali rambutnya saat jeda babak pertama.

Stadion Gelora Delta di Sidoarjo dan Stadion Tri Dharma di Gresik adalah saksi dari ketangkasan timnas pada piala AFF U-19. Evan, pelatih, ofisial, hingga seluruh pendukung timnas merayakan dengan beraneka ragam selebrasi. Menurut Fim, seyogianya pertandingan tingkat junior, Piala AFF U-19 ini merupakan jenjang pembinaan ‘Belum Waktunya Berpesta’ (hal 137). Saya setuju dengan Fim, pertandingan level junior memang sudah seharusnya untuk fokus pada pembinaan agar terbentuk pondasi yang kuat untuk timnas senior kita. Saya meminjam kalimat dari pelatih asal Australia Hans Peter Schaller “Membangun sepak bola sama seperti membangun sebuah rumah. Harus ada pondasinya dulu, bukan langsung memasang atap. Timnas itu bagai atap, sayang dasarnya tidak kuat. Dasar itu berarti membangun sepak bola di daerah. Level amatir dulu, seperti di Eropa”.

Dalam buku ini Fim menyisipkan ‘surat terbuka’ untuk Tim Nasional U-23. Fim lebih menekankan timnas U-23 harus tidak boleh berputus asa. Fim membandingan prestasi timnas U-19 yang berhasil mengalahkan Korea Selatan dengan skor 3-2 di babak penyisihan grup Piala Asia U-19 di Gelora Bung Karno.

Bagi saya yang masih mencintai sepak bola indonesia, buku ini masih terlalu tipis. Sebagai gambaran, A Life Too Short oleh Ronald Reng bisa setebal 400 halaman. Saya berharap Fim membuat buku tentang sepak bola tanah air lagi dengan gayanya yang khas. Dan saya berharap juga buku-buku bertemakan sepak bola seperti buku ini semakin banyak di Indonesia.

Memberi Nama dan Membunuhnya

0

“Kita perlu mulai berpikir untuk membunuhnya. Dia sudah mulai berulah. Dan aku melihat ada dampak buruk yang lebih besar misal ini tetap dibiarkan.”

***

Dia datang mengejutkan banyak orang. Badannya kecil. Hitam. Gesit. Saat itu sedang rapat besar. Rapat yang dihadiri mayoritas anggota internal organisasi Pers Mahasiswa (Persma) salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Sekitar dua puluh orang. Menjadi hal yang wajar, bahkan akan dihiraukan apabila yang muncul adalah anggota yang telat. Tapi tidak pada malam itu.

“Weh, ada Omen,” kata Lamtiur menunjuk tikus yang melewati anggota rapat.

Seketika rapat yang hening (karena membahas progres berita yang mandek) menjadi riuh. Bukan jijik. Hanya ada sekelebat rasa heran, “berani-beraninya sedang ramai seperti ini, tetap lewat kaya enggak punya dosa,” begitu kira-kira pembahasannya.

“Apaan dah? Siapa Omen?” Kata orang berbadan tambun yang tetiba bangun (karena bosan rapat atau capek) karena riuh.

“Itu lho,” tanggapan yang lain sembari menunjuk tikus yang lewat dan hilang menuju lemari buku.

Entah siapa yang memulai memberi nama tikus itu Omen. Semua bersepakat ─karena tidak ada yang keberatan atau setidaknya mengganti dengan nama lain─memanggil tikus itu selanjutnya dengan nama Omen. Perkiraan saya, nama Omen diambil dari serial film trio komedian yang populer di tahun 80-90an. Ada beberapa adegan dalam film-film tersebut yang melibatkan tikus, dengan nama yang sama, Omen. Entah apa artinya? Yang jelas Omen sering membuat suasana kantor Persma itu menjadi lebih meriah. Seperti baru saja mendapat tambahan anggota “keluarga”.

Tidak jarang, Omen menjadi bahan lelucon saat obrolan santai.

“Di mana Omen?” Tanya Lamtiur, anggota senior, yang baru saja sampai kantor Persma.

“Lagi keluar kali, kerja buat keluarganya. Eh aku penasaran, Omen sering mandi enggak ya?” Kata Sastro, anggota senior yang lain.

“Lah kamu enggak lihat? Omen kan sering mondar-mandir di sekitaran dispenser. Nah dia itu sering berenang di galonnya.” Tawa menyeruak di kantor Persma. Yang tadinya sedang serius membaca buku atau menonton film pun ikut tertawa.

“Iya, sering berenang di galon, pakai renang gaya santai lagi,” sanggah seseorang sembari memperagakan posisi tiduran telentang, kedua tangan bersedekap di belakang kepala, kaki digerakkan seperti berenang.

“Pantesan waktu aku minum dari galon agak pahit-pahit gimana gitu.” Tawa semakin keras. Memang selera humor Persma ini agak aneh. Saya salah satu anggota di dalamnya, jadi tahu betul. Ada hal-hal yang mungkin orang di luar kelompok kami tidak lucu, tapi membuat kami terbahak-bahak. Saya menganjurkan untuk bergantian berobat ke psikolog. Takutnya ada sesuatu yang salah. Tapi setidaknya kami menikmatinya.

Tentu semua itu hanya imajinasi semata. Kalau memang dia berenang di galon pasti semua orang sudah sakit. Tapi terkait air galon yang pahit, terkadang memang benar. Bahkan ada yang pernah cerita agak aneh lagi─tentu saja hanya mengada-ada.

“Kan aku nyimpen handuk sama peralatan mandi di laci bawah lemari buku. Nah waktu pagi-pagi, sekitar jam delapan lah, aku masih tidur tuh. Tiba-tiba di kaki kaya ada yang ngegigit-ngegigit gitu. Waktu aku bangun ternyata Omen. Terus tahu enggak dia bilang apa?” Katanya sok membuat orang lain penasaran. “Omen bilang ‘Mas pinjem sabun sama pasta gigi dong, punyaku habis.’ Ya aku bilang ke dia, ambil saja Men.” Tawa kembali berurai. Mungkin kamu tanya, apanya yang lucu? Kamu belum lupa kan, kalau kami punya selera humor yang sedikit berbeda.

Ada beberapa cerita lain yang mengimajinasikan Omen. Entah membayangkan bagaimana tempat tidurnya, apa pekerjaannya, bagaimana komunikasinya dengan keluarga. Sampai hal-hal yang tidak masuk akal seperti Omen adalah jelmaan manusia yang menjadi mata-mata polisi, tentara atau pemerintah yang tidak suka dengan kerja-kerja pers. Apapun imajinasi tentang Omen, sering kali berakhir dengan tawa. Tapi tetap saja ada beberapa imajinasi yang gagal membuat kami tertawa. Saya tegaskan, walaupun selera humor kami berbeda, terkait penilaian humor kami tegas. Kami akan mengatakan, “coba lagi ya coy,” atau, “santai aja, baru nyoba sekali belum lucu, entar percobaan ketujuh lucu kok.” Tentunya lucu dengan indikator tidak tertulis kami. Saya tidak akan menjabarkan lelucon-lelucon yang gagal membuat kami tertawa. Kami menghargai privasi orang tersebut.

Omen menjadi anggota “keluarga” lembaga Persma ini dengan penerimaan yang menyenangkan. Omen pun sepertinya tahu, dia tidak sungkan-sungkan muncul di tengah keramaian rapat atau kegiatan lain. Saat malam, suasana sepi juga jadi surga buat dia. Mengorek sampah atau sisa makanan anggota menjadi kebahagiaannya ─sepertinya. Diketahui kemudian, saat malam dan hanya menyisakan salah satu anggota Persma, Omen sering diajak mengobrol. Tentang apapun. Keluh kesah dengan anggota lain, masalah kuliah, terkadang masalah cinta. Omen hanya diam saja ─tentunya. Tapi toh si orang yang mengajak ngobrol tetap senang. Dia tidak pernah diinterupsi Omen paling tidak.

***

Kantor Persma ini seukuran lapangan bulu tangkis. Dua lemari besar berisi buku dan barang-barang administrasi diletakkan berhimpitan dengan tembok. Berhadapan satu lemari dengan lemari lain. Ada dua meja kecil. Satu di samping jendela untuk komputer dan seperangkatnya, satu lainnya di dekat pintu untuk gelas, piring, kopi dan seperangkatnya. Rak sepatu dan tumpukan koran berada sejajar dengan pintu, di pojokan. Banyak barang lain yang seringkali dipindah seperti gitar, stan foto, kasur dan kursi-kursi.

Masalah itu berawal saat Lamtiur masuk ruangan lembaga Persma dan mendapati bau yang tidak enak. Dia hanya diam dan membuang sampah yang sudah lama menumpuk. Lamtiur mengira itu penyebab bau tidak enak. Berhari-hari bau tidak enak semakin menyengat. Bukan dari tempat sampah. Walaupun sampah sudah dibuang, baunya masih tetap ada. Ternyata tidak hanya Lamtiur, tapi banyak anggota Persma yang liyan juga merasakan hal yang sama. Tanpa komando, semua memeriksa.

Owalah, pantesan. Ini loh Omen buat ‘toiletnya’ di sini,” kata Sastro menunjuk kolong meja komputer yang sudah menumpuk banyak kotoran Omen.

Kotoran Omen dibersihkan dan bau tidak sedap menghilang, sementara. Apa yang kau fikirkan? Omen akan disalahkan dan diusir? Tidak. Terlalu tega untuk kami mengusir atau bahkan membunuh orang, maaf, maksud saya membunuh hewan yang sudah memberi banyak keceriaan untuk kami. Tidak untuk saat ini.

“Yaudah, masih kecil ini si Omen. Maklum lah kalau masih buang kotoran sembarangan,” sanggah anggota yang masih junior.

“Kenapa enggak sekalian kasih popok sama diajak jalan-jalan di taman saja kalau masih kecil?”

“Kok kita jadi kaya ngomongin anak kita aja ya.” Tawa kembali terurai. Kamu lihat betapa berartinya Omen untuk kami. Saat dia melakukan kesalahan pun masih kami maafkan. Dengan tertawa pula.

***

“Kita perlu mulai berpikir untuk membunuhnya. Dia sudah mulai berulah. Dan aku melihat ada dampak buruk yang lebih besar misal ini tetap dibiarkan,” kata Lamtiur.

“Iya, aku juga sepakat. Mengulangi kesalahan dengan membuang kotorannya secara sembarangan tidak bisa dibiarkan,” kata Sastro.

“Iya mas, apalagi sejak dia juga buang kotoran di salah satu kasur kita. Untung masih ada kasur yang lain. Tapi apa mau menunggu kasur yang lain dijadiin ‘toilet’ si Omen?” kata si anggota junior.

“Kalo aku si enggak ngebayangin misal ada tamu luar, dan itu penting, masak bau kotoran tikus kaya gini sih. Di banyak tempat lagi.” Persma itu memang sering kedatangan tamu. Tidak jarang orang-orang penting entah sastrawan, penulis, wartawan dan lainnya.

Suasana menjadi hening dan sedikit mencekam. Kalau mungkin saya kasih gambaran, suasananya seperti akan mengeksekusi mati seseorang. Suasana hening itu akan semakin lama apabila Lamtiur tidak memberikan saran.

“Oke, kita bunuh saja Omen. Tapi kita pilih eksekusi mati yang paling cepat dan tidak menyakitkan,” kata Lamtiur. Semua orang tidak kaget, tidak pula menyanggah. Sepertinya itu juga yang dipikirkan yang lain.

“Kalau pakai racun tikus atau lem gimana?” Ujar Sastro.

“Jangan. Memang lebih gampang, tapi itu akan lama matinya, dan tentu saja makin lama dia mati, akan lebih menderita. Itu melanggar beberapa pasal terkait eksekusi mati.”

Suasana menjadi serius.

“Tapi sebelum eksekusi mati…” Kata anggota junior, diselingi diam sejenak. “Kita harus kasih kesempatan Omen untuk memberikan pesan kepada keluarganya untuk perpisahan.” Entah kenapa tawa kembali terurai.

“Gimana caranya?” tanya Sastro.

“Ya buat selebaran, ditempel di dinding bagian bawah yang biasa dilewati Omen.”

“Tapi kan Omen masih kecil, dia belum bisa baca.” Entah apa indikator yang dipakai untuk mengatakan kalau Omen masih kecil. Memang kalau dia sudah besar ─dan bisa baca─ badannya akan seperti manusia dewasa?

Tapi apapun, lelucon yang hanya dimengerti oleh kami di mana lucunya itu berhasil menyelamatkan kami untuk tidak membahas ─lebih-lebih memutuskan─ eksekusi mati jenis apa untuk Omen. Bukan karena tidak menemukan cara yang pas, tapi jauh di lubuk hati, kami tidak tega. Kamu tahu kan perasaannya?

Hingga pada suatu minggu, diagendakan untuk bersih-bersih dan penataletakan ulang barang-barang di kantor Persma. Agar mendapat suasana dan inspirasi baru katanya. Dan itu memang rutin dilakukan setiap tahun. Obrolan tentang eksekusi mati Omen masih didengungkan termasuk saat agenda bersih-bersih berlangsung.

“Omeeeeen!” ungkap salah seorang yang kaget melihat Omen keluar tiba-tiba saat sedang mengangkat lemari.

Omen juga kaget dengan teriakan itu. Dia berlari ─aku kira dengan panik, tidak gesit dan terarah seperti biasa─ ke arah lemari yang sedang tidak diangkat. Omen menghindari beberapa barang sampai terjebak ke dalam kardus kecil bekas bungkus makanan. Celakanya dia tidak bisa keluar dari kardus yang memanjang itu. Semua mata saling berpandangan. Seolah tahu apa yang mesti dilakukan. Di samping Lamtiur dan Sastro ada sapu lidi yang masih utuh dan semprotan pembasmi serangga.

***

Untuk Omen.

Terima kasih atas kebersamaan ini. Kamu telah menjadi bagian tidak terlupakan dari kami. Omen sedunia bersatulah!!!

Kebohongan, Sok Tahu, dan Segala Problematika-nya

Judul : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan

Penulis : Rusdi Mathari

Penyunting : Wisnu Prasetya Utomo

Penerbit : Buku Mojok

Tahun : 2018

Tebal : 258 Halaman

Ketika konsentrasi kepemilikan media meningkat pesat, senja kala media cetak hampir tiba, tsunami hoax dan berita palsu muncul, gejala ketidakpercayaan terhadap media arus utama membesar, jurnalisme yang sedang berada dalam episode-episode menegangkan. Rusdi Mathari merupakan penulis yang mahir dalam merefleksikan jurnalisme melalui kritiknya.

Kritik yang menjadi upaya untuk menilai sejauh apa media menjalankan praktik jurnalistiknya. Bukan hanya berkaitan dengan akuratnya sebuah berita, lebih dari itu, menggali lebih jauh lagi tentang apa yang tersembunyi di balik suatu berita yang sering dibilang sebagai karya jurnalistik.

Permasalahannya adalah, ketika kritik untuk media di Indonesia adalah sesuatu hal yang langka. Sangat sulit untuk melihat atau membaca kritik media yang dilakukan dengan serius, konsisten, dan pada tahap selanjutnya adalah: keberpengaruhan.

Kebanyakan, kritik yang dilontarkan oleh para peneliti baik yang berasal dari kampus atau lembaga pemantau media misalnya, yang menyebabkan gagalnya menjangkau publik secara umum dan media secara khusus. Atau minimnya tradisi kritik-autokritik dari pekerja media di Indonesia dan jurnalis yang mau melakukan kritik terhadap diri mereka sendiri. Dan juga tendensi anti-kritik dari jurnalis atau pekerja media, kritik terhadap mereka kerap ditanggapi dengan sifat defensif yang sangat kuat, justru yang mengkritik malah akan diserang balik dan menjauh dari substansi kritik yang ingin disampaikan.

Permasalahan tersebut tentu saja ada pengecualian, ada pula media-media yang terbuka dengan kritik. Kita ambil contoh Tempo, yang mempunyai ruang diskusi untuk membedah terbitannya yang dianggap kontroversial dengan melibatkan pembaca dari luar. Namun ironisnya adalah, ada yang menganggap diskusi terbitannya sebagai cara untuk menaikkan pamor saja.

Di buku ini, Cak Rusdi sangatlah seksi, karena sebagian besar isi dari buku ini adalah catatan atau ulasan sehari-harinya tentang kritik media yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga global. Sebagai seorang yang sudah menjadi jurnalis lebih dari 25 tahun dan bekerja di beberapa media, Rusdi tahu tetek bengek profesi yang ia cintai tersebut. Dan karena hal tersebut, kritik-kritik yang ia ajukan menemukan fondasi yang sangat kokoh.

Banyak buku-buku yang membahas tentang kritik jurnalisme, ambil saja Ahmad Arif dengan bukunya yang berjudul Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme tahun 2010. Yang membahas bagaimana pemberitaan media-media mengenai bencana alam, yang pada gilirannya justru bisa menimbulkan bencana jurnalisme. Atau Andreas Harsono, dengan bukunya Agama Saya adalah Jurnalisme yang diterbitkan pada tahun 2010, juga ikut menyuarai kritikan keras beberapa problem dalan jurnalisme di Indonesia. Dari soal istilah jurnalisme Islam, penggunaan byline dan firewall, sampai problem pendidikan jurnalisme di Indonesia.

Buku-buku seperti itulah yang sangat penting dan berfungsi sebagai cermin bagi para jurnalis. Cermin yang semakin penting ketika media semakin industrialisasi dan jurnalis bisa jadi teralienasi dari apa yang dilakukannya sendiri.

Banyak bab yang sangat menarik pembahasannya, salah satunya bab “Hoax, Para Monyet dan Wartawan”, di suatu malam tanggal 11 Februari 2014, saat itu media di Indonesia sedang ramai-ramainya memberitakan tentang PM Singapura Lee Hsien Loong, yang memutuskan untuk tidak berteman dengan Presiden SBY di Facebook. Lee yang saat itu juga dikabarkan menghilangkan tag foto SBY di album foto di Facebook-nya. Berita itu dikutip dari newnation.sg, yang pada akhirnya media di Indonesia beramai-ramai mengekor karena takut dianggap ketinggalan isu. Tapi sayangnya, berita itu adalah berita yang tidak jelas kebenarannya, tidak ada verifikasi dari wartawan yang mengutip: apakah akun Lee di Facebook adalah benar miliknya?

Dari sini Rusdi beranggapan bahwa seorang wartawan menjuluki mereka yang menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya sebagai the clicking monkeys, tapi celakanya para wartawan itu sering menjadi kumpulan monyet tersebut. Mereka menulis apa saja yang dipungut dari sumber yang tidak jelas. Bahkan yang lebih ironis lagi, sebagian menulis tanpa malu dengan tidak mencantumkan asal muasal sumbernya.

Kemudian cerita bab “Wartawan dan Kebohongan”, Rusdi menulis wartawan dan kebohongan adalah dua senyawa yang tidak boleh bersatu. Wartawan adalah profesi yang murni menuntut kejujuran, dan juga keterusterangan dalam memperoleh informasi dan mempublikasikan sebuah berita, dan berbohong adalah perilaku untuk mengelabui atau menutup-nutupi suatu fakta. Karena pada dasarnya, wartawan yang berbohong dengan beritanya itu bisa disebut telah melakukan kejahatan terbesar kepada publik. Atau mungkin lebih dari itu, akibat yang mungkin bisa ditimbulkan dari berita bohong bisa saja sangat fatal. Permasalahannya adalah, apa saja yang bisa disebut sebagai kebohongan oleh wartawan? Kebohongan itu bisa lebih luas bro jika didefinisikan, bisa juga menjelma dalam bentuk yang beraneka ragam rupanya.

Kebohongan wartawan yang lain adalah ketika mencoba mengutip sumber dari media lain, tetapi tidak mencantumkan nama media atau jurnal yang dikutipnya. Dalih mereka para pembaca yang tidak akan pernah tau asal-usul berita itu dan dianggap akan percaya berita itu dilaporkan oleh reporter atau penulisnya, apalagi jika medianya adalah media yang sudah punya cukup nama yang sangat besar.

Pertanyaan dari kebohongan-kebohongan diatas adalah, mengapa wartawan berbohong? Jawaban pertama adalah karena sebagian besar di antara mereka hanya tau dan bangga mengaku sebagai wartawan, tapi sama sekali tidak pernah membaca dan tidak pernah tau, ada kode etik yang memagari profesi mereka.

Jawaban kedua adalah, media kini telah menjadi industri yang sangat mirip dengan pabrik tahu. Persaingan ketat antar media terutama untuk menjaring iklan dan pembaca telah menempatkan wartawan sebagai individu yang harus bekerja memenuhi target pemilik modal.

Selanjutnya adalah bab “Sumber Berita”, dimana bab ini menjelaskan tentang sumber kredibilitas berita bukan segala-galanya. Ada dua analogi sederhana yang dicantumkan dalam bab ini, diantaranya adalah orang yang memiliki atau dianggap punya kredibilitas tinggi, belum tentu memiliki informasi, dan data yang akurat. Begitu juga sebaliknya, orang yang dianggap tidak memiliki kredibilitas, informasinya bisa-bisa saja memiliki akurasi informasi dan data yang sangat akurat.

Karena pada dasarnya, berita dan wartawan adalah dua hal yang saling membutuhkan, keduanya seperti roh dan jasad yang saling melengkapi. Roh tanpa jasad adalah hantu, dan jasad tanpa roh adalah mayat. Sumber berita tanpa wartawan itu sangat mustahil untuk bisa menyampaikan pesan kepada publik, hal itu juga berlaku sebaliknya, wartawan tanpa sumber berita juga tidak akan menghasilkan suatu karya jurnalistik.

Kemudian permasalahan yang sering dialami seorang wartawan adalah, menembus sumber-sumber tersebut. Pada hakikatnya, tidak ada satu sumber pun yang tidak bisa ditembus. Kebanyakan hal ini sering dijadikan alasan untuk seorang reporter mengelak ketika rapat redaksi datang. Alih-alih alasan jarak, tempat, dan waktu dan sebagainya. Wartawan jenis ini mestinya perlu mengkaji ulang profesi sebagai kewartawannya.

Ketika semua upaya sudah dilakukan, namun seorang sumber juga tidak berhasil ditembus, maka apalah daya kita seorang wartawan, itulah yang biasa saya sebut serendah-rendahnya “keimanan” dalam sebuah liputan.

Terakhir adalah pelajaran yang sangat berharga di bab “Tentang Wawancara”, suatu hari dalam berita kriminal di sebuah stasiun televisi nasional, seorang wartawan meliput penemuan mayat di pinggir sungai. Di lokasi, wartawan tersebut langsung mewawancarai saksi yang merupakan seorang pemulung, yang pertama kali menemukan mayat dan melaporkannya kepolisi. Kemudian wartawan tersebut bertanya kepada pemulung tersebut, “Menurut bapak sudah berapa lama mayat itu di pinggir sungai?” Lalu saksi itu menjawab, “Tidak tahu, saya baru menemukannya tadi pagi,”

Wawancara adalah isu besar dalam jurnalistik dan tak semua wartawan mampu melakukannya dengan baik. Di Indonesia wartawan semacam ini banyak sekali jumlahnya, dan paling mudah menjumpainya pada liputan berita di televisi, meski di media cetak juga tidak sulit untuk di temukan.

Pertanyaan wartawan televisi tadi jelas pertanyaan bodoh yang memalukan profesi jurnalistik, karena jawaban saksi mestinya sudah diduga oleh si wartawan atau mungkin para penonton juga, yaitu “Tidak tahu,”. Perlu disadari, bahwa wawancara itu bukanlah percakapan biasa, apalagi hanya sekedar basa-basi. Wawancara adalah salah satu roh bagi wartawan yang menentukan nilai sebuah liputan.

Lalu apa yang harus dilakukan? Ada sebuah catatan penting yang bisa ditarik dari kasus diatas, yakni menyiapkan data. Seorang wartawan seharusnya sudah menyiapkan segala bahan dan data yang berhubungan dengan isu atau topik yang harus ditanyakan kepada narasumber. Wartawan harus siap dengan semua pertanyaan yang terkait dalam usahanya menggali fakta.

Cak Rusdi selalu berpesan kepada wartawan muda, seorang wartawan juga seharusnya jangan malu untuk mengaku tidak tahu. Satu hal yang harus diperhatikan adalah, jangan sok tahu dan jangan mengajukan pertanyaan yang kiranya langsung pada pokok persoalan. Narasumber bisa-bisa saja terprovokasi oleh gaya dan sikap bertanya wartawan semacam itu, dan kemudian langsung menjawabnya. Namun risiko yang juga harus dipertimbangkan adalah, jika narasumber tidak menjawab sama sekali pertanyaan dari wartawan. Atau kalaupun menjawab, narasumber mungkin akan menjawab dengan jawaban-jawaban yang bersifat membela diri. Karena itu pelajaran penting di bab ini adalah jangan sok tahu bahkan memang merasa sudah tahu.

Masih banyak penjelasan-penjelasan yang bisa dijadikan sebuah refleksi untuk wartawan muda, yang ingin bergelut didunia jurnalistik. Beberapa teori kasus yang tersampaikan di setiap bab-nya mengandung unsur yang sangatlah layak untuk dipelajari para kaum wartawan muda. Dan juga pembahasan di setiap bab-nya, bisa dikatakan problematika yang benar-benar kredibel, dan juga sering dialami oleh dunia jurnalistik era ini. Namun sayangnya, Cak Rusdi keasyikan dalam mengkritik problematika yang ada saat ini. Sehingga Cak Rusdi lupa untuk memberikan beberapa solusi yang akan dianggap sebagai solusi yang indah. Solusi dengan memposisikan dirinya sebagai seorang jurnalis senior yang sudah menggeluti bidangnya selama 25 tahun lebih.

Tulisan ini, tidak murni sepenuhnya dari bahasa yang saya buat sehari-hari. Tulisan ini merupakan refleksi yang saya rangkum dari tulisan-tulisan Cak Rusdi yang pernah di muat di blog-nya, yang kemudian disunting oleh penyunting buku ini. Sebenarnya ada 38 artikel dalam buku yang saya baca ini, yang disusun oleh penyunting berdasarkan kedekatan tema yang ditulis oleh Rusdi dari tahun 2007 sampai 2016. Sekali lagi, saya meminjam kata-kata penyunting buku ini, yaitu Wisnu Prasetya Utomo yang mengatakan “Dengan begitu, kritik sudah sewajarnya datang dari mana saja dan mestinya bisa diterima dengan besar hati. Karena jurnalisme bukan monopoli wartawan.”

Menengok Dana Abadi dan Aset KM UII

Himmah Online, Kampus Terpadu ​ Jumat, 5 Oktober 2018 Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri  Universitas Islam Indonesia (LEM FTI UII) mengadakan diskusi dengan tema “Apa Kabar Aset dan Dana Abadi KM UII?”. Diskusi ini berlangsung di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII dan dimoderatori oleh Tegar Refa Wiseso selaku Staff Bidang Politik Mahasiswa LEM FTI UII.

Diskusi ini juga menghadirkan Gandys Marisha Utami selaku Ketua Komisi III Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII, Fathor Rahman selaku Ketua Komisi IV DPM UII, dan Naufal Arifin selaku Ketua Badan Pengelola Aset Keluarga Mahasiswa (BPA KM) UII sebagai pembicaranya.

Gandys menjelaskan bahwa pengelolaan dana abadi masih kurang maksimal dan memiliki beberapa permasalahan, salah satunya kurangnya regulasi atau aturan tentang keuangan. “Jika kita melihat Peraturan Dasar Keluarga Mahasiswa (PDKM) KM UII, hanya ada dua hal tentang dana abadi. Yang pertama apa itu dana abadi dan yang kedua penggunaannya bagaimana, itu pun masih sangat bersifat umum,” ucap Gandys.

Gandys mengatakan sumber dana abadi berasal dari sisa dana periodisasi yang kemudian diserahkan  ke DPM kemudian dijadikan dana abadi. Dana abadi dikelola oleh Komisi III DPM UII, dimana dalam pengelolaanya diawasi oleh KM UII. Dalam penggunaanya, Gandys menjelaskan bahwa dana abadi hanya bisa digunakan jika disepakati oleh KM UII dalam Sidang Umum atau saat Sidang Istimewa. Dana abadi juga digunakan hanya semata-mata untuk kepentingan KM UII, contohnya pengadaan aset Student Convention Center (SCC) UII.

Tegar Refa Wiseso menanggapi pernyataan Gandys yang sempat menyinggung bahwa pengelolaan dana abadi perlu diatur di dalam Peraturan Keluarga Mahasiswa (PKM) secara lebih rinci. Tegar pun mengajukan pertanyaan terkait tujuan dibuatnya PKM tentang dana abadi.

Menanggapi pertanyaan Tegar, Gandys menjelaskan bahwa sejak awal KM UII terbentuk hingga adanya dana abadi, tidak ada penjelasan yang lebih rinci terkait dana abadi. Penjelasan tentang dana abadi hanya bersifat umum terkait apa itu dana akhir periodisasi dan penggunaannya untuk KM UII. “Maka dari itu, penting dibuatkan PKM yang membahas atau mengembangkan tentang dana abadi itu sendiri,” ujar Gandys.

Fathor Rahman menjelaskan bahwa KM UII hanya memiliki dua aset, yaitu aset bergerak dan aset tidak bergerak. Aset bergerak yang dimaksud adalah jas almamater dan aset tidak bergerak adalah SCC UII. Mulai periode saat ini pengelolaan aset sepenuhnya dikelola oleh BPA yang dibawahi langsung oleh Komisi IV DPM UII.

Fathor juga menjelaskan awal mula SCC UII yang hanya dipergunakan untuk kebutuhan mahasiswa UII dan tidak dibuka untuk umum. Namun seiring berjalannya waktu, mengingat SCC UII juga perlu dilakukan perawatan, maka dibuka untuk umum dengan dikenakan biaya tertentu. “Dan dalam pengelolaan SCC UII itu tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, jadi hasil dari biaya yang dikenakan kepada pengguna hanya untuk perawatan SCC UII itu sendiri,” jelas Fathor.

Menanggapi pernyataan Fathor, Indah selaku mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam mempertanyakan mengenai biaya sewa SCC UII untuk organisasi eksternal KM UII. Harga sewa untuk organisasi eksternal KM UII adalah sebesar Rp. (HI) x 300%, dimana HI adalah harga sewa untuk KM UII yaitu Rp500.000,00, sedangkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang juga merupakan organisasi eksternal KM UII mendapatkan harga sebesar Rp. (HI) x 150%.

Fathor pun menjelaskan bahwa HMI yang dimaksud adalah HMI yang ada di UII. Terkait harga sewa yang lebih murah, Fathor mengatakan hal tersebut dikarenakan anggota HMI adalah mahasiswa UII itu sendiri. Selain itu, Fathor juga mengatakan bahwa organisasi eksternal yang ada di UII selain HMI pun bisa mendapatkan harga sewa yang sama asal sesuai dengan prosedur yang ada.

Naufal Arifin menambahkan penjelasan dari Fathor dan mengatakan bahwa organisasi eksternal yang ada di UII yang anggotanya merupakan mahasiswa UII bisa mendapatkan harga yang sama dengan HMI. Namun, harus tetap melalui proses tawar menawar terlebih dahulu.

Mengenai aset bergerak, Fathor mengatakan bahwa jas almamater dianggarkan pada dana proyek KM UII yang berasal dari potongan uang pembayaran awal mahasiswa baru. Pada rincian pembayaran sudah dijelaskan alur dana itu sendiri dan salah satunya ke biaya almamater. “Jadi ketika mahasiswa baru sudah masuk ke UII, maka secara otomatis sudah memiliki hak untuk mendapatkan (jas) almamater,” ucap Fathor.

Mengingat jumlah dana untuk pengadaan jas almamater sangatlah besar, Fathor berharap adanya regulasi yang mengatur pengelolaan jas almamater secara lebih rinci. Selain itu, PKM pada periode kepengurusan DPM UII kali ini diharapkan dapat mengatur pengelolaan aset dan dana abadi secara rinci sehingga pengelolaannya lebih optimal lagi ke depannya.

Reporter: Ahmad Sarjun

Editor: Hana Maulina Salsabila

Masihkah Relevan Sistem Parlementer di KM UII?

Menjadi seorang mahasiswa tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi sejumlah orang yang sedang mengenyam bangku perkuliahan. Mahasiswa mempunyai banyak kelebihan dari siswa biasa, yaitu menjadi agent of change, agent of social control, dan iron stock. Karena besarnya peran mahasiswa tersebut, hingga kerap disebut sebagai “Penyambung lidah rakyat”.

Allison Hawkins Crume dalam The Historical Development of The Student Government Association as a Student Sub-Culture at The Florida State University menjelaskan lahirnya konsep Student Government merupakan titik awal kekhawatiran mahasiswa di Amerika Serikat dan Inggris yang pada saat itu dibatasi ruang geraknya dalam melakukan kegiatan di kampus. Saat itu, para mahasiswa menuntut kebebasan dan keterlibatan dalam lingkup yang lebih besar.

Pada tahun 1869 konsep Student Government pertama kali diperkenalkan oleh Charles W Eliot mengenai sistem pemilihan umum mahasiswa (pemilwa) di Universitas Harvard untuk memberikan mahasiswa lebih banyak ruang gerak dalam berlembaga. Student Government dipandang oleh mahasiswa sangat berguna, yaitu sebagai implementasi dari nilai-nilai demokrasi. Pada tahun 1901, mahasiswa Universitas North Carolina membentuk suatu organisasi pemerintahan mahasiswa tidak resmi sampai mereka mendapat pengakuan dari pimpinan universitas pada tahun 1904 dan dikenal sebagai Dewan Mahasiswa.

Di Universitas Islam Indonesia (UII), konsep Student Government itu tertuang dalam organisasi bernama Keluarga Mahasiswa (KM) UII. KM UII semula bernama Organisasi Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (OM UII) berdiri pada tanggal 21 september 1950 dimana tanggal tersebut sekarang ditetapkan sebagai hari kelahiran KM UII. Sudah tentu sudah lebih enam dasawarsa selama berjalannya waktu roda organisasi ini telah menuai dinamika pada setiap periode kepemimpinannya.

Perlu kita melihat kembali tentang awal berdiri dan jalannya KM UII yang telah melewati tujuh masa kepemimpinan pemerintahan Republik Indonesia. Terdapat beberapa sistem pemerintahan yang pernah diterapkan di Republik Indonesia pada masing-masing masa. Mulai dari masa Orde Lama (1957-1965), Orde Baru (1966-1998), dan Reformasi yang telah kita rasakan sampai saat ini.

Dalam hal ini perlu kita ketahui mengenai sistem yang sedang dipakai lembaga pemerintahan dalam tataran mahasiswa atau Student Government. Ada dua sistem perlu kita ketahui:

Pertama, sistem parlementer yang merupakan sebuah sistem pemerintahan yang mana legislatif atau parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Sistem ini mempunyai ciri bahwa pemimpin eksekutif ditunjuk atau diangkat oleh parlemen, maka hal ini dapat menunjukkan hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif amat erat.

Kedua, sistem presidensial yang merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan lembaga eksekutif dipilih melalui Pemilu dan terpisah dengan kekuasaan lembaga legislatif.

Maka dari definisi sistem pemerintahan parlementer dan presidensial tersebut dapat kita ambil gambaran bahwa Student Government KM UII lebih menganut sistem parlementer. Hal tersebut bisa dilihat dalam proses Pemilwa dan pembagian peran lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang sedang berlaku sampai saat ini. Pemilwa diadakan secara serentak untuk memilih calon legislatif. Setelah calon memenuhi syarat menjadi anggota legislatif terpilih, pemimpin eksekutif ditunjuk atau diangkat dari salah satu para anggota legislatif terpilih.

Apabila kita bandingkan dengan lembaga pemerintahan mahasiswa di kampus yang lain, misalnya UGM dan UIN, tentu akan berbeda. Selain UII, mayoritas Student Government di kampus Indonesia menggunakan sistem presidensial. Hal ini dapat dilihat pada proses pemilwa dimana calon anggota lembaga legislatif dan eksekutif yang dipilih secara terpisah.

Kelemahan sistem yang dijalankan oleh KM UII sekarang yaitu calon legislatif dan eksekutif dipilih tidak terpisah. Artinya, dalam masa kampanye Pemilwa yang ditawarkan pada mahasiswa adalah hanya visi dan misi calon anggota legislatif yang kemudian salah satu di antara anggota legislatif yang terpilih akan menjadi pemimpin lembaga eksekutif.

Tentu aneh rasanya ketika seorang anggota legilatif terpilih yang ditunjuk atau diangkat untuk memimpin lembaga eksekutif padahal visi dan misi yang yang ditawarkan kepada mahasiswa pada masa kampanye yaitu visi dan misi sebagai calon anggota legislatif. Padahal ranah, tugas, dan fungsi antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif jelas berbeda, begitu pula dalam hal visi dan misi yang akan disampaikan sang calon.

Beda halnya ketika dalam Pemilwa untuk calon lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dilakukan secara terpisah. Hal ini akan memudahkan mahasiswa dalam memilih dan mempercayai calon pemimpin yang akan duduk di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Apabila pemilihan calon legislatif dan eksekutif dilakukan secara bersamaan, serta pemilihan pemimpin lembaga eksekutif itu sendiri diangkat atau ditunjuk dari anggota lembaga legistalif terpilih, sama halnya membeli burung dalam karung yang dimana kita tidak tahu isi di dalamnya kemudian.

Bisa dirasakan sampai saat ini kelemahan sistem tersebut yang mengakibatkan peran kelembagaaan tidak berjalan secara efektif hanya karena menunggu Sidang Umum dan proses lobi yang terlalu lama. Seperti halnya pada periode 2016/2017 dan 2017/2018 yang memakan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan Sidang Umum, pemilihan struktur anggota legislatif, dan mengangkat atau menunjuk pemimpin lembaga eksekutif.

Tentu saja ini menjadi evaluasi bersama KM UII untuk mengembangkan tatanan sistem yang lebih efisien dan efektif untuk saat ini.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.