Beranda blog Halaman 53

Tidak Ada Padi yang Tiba-Tiba Merunduk

Di kampusnya, Sumerat merupakan orang yang biasa-biasa saja. Tidak pintar, tidak juga bodoh. Tapi teman-teman di kelasnya mengenalnya sebagai mahasiswa yang kritis. Paling sering bertanya kepada teman-temannya yang sedang presentasi, paling cepat menjawab pertanyaan yang dilemparkan dosen, dan paling senang menyanggah jawaban mahasiswa lain yang coba menyampaikan argumennya.

Di semester awal, setiap mata kuliah yang diikutinya selalu ramai dan riuh karena dia. Di awal-awal semester itu dia sangat aktif. Dia selalu melemparkan pertanyaan, menjawab pertanyaan, atau setidaknya menanggapi sebuah jawaban. Teman-teman kelasnya sampai risih dengan ulahnya itu. Dosen pun muak. Terkadang dia tak diberi ruang untuk bertanya, karena pertanyaan-pertanyaanya itu terkadang membuat dosen kualahan untuk menjawabnya. Dia seperti menberikan pertanyaan yang kesannya hanya untuk mengetes saja.

Sampai pada akhirnya, semester satu dan dua dilewatinya.

Di semester tiga dia masih satu kelas dengan teman-temannya di semester satu dan semester dua. Di semester tiga, Sumerat berbeda. Dia tak lagi aktif tanya-jawab, tak lagi kritis di dalam kelas. Di awal pertemuan semester tiga itu, dia duduk seperti biasa di pojok paling belakang kelas. Dia hanya diam dan khusyuk memperhatikan penjelasan dosen atau memperhatikan teman-temannya yang memiliki giliran presentasi di hari itu. Hal itu membuat teman-temannya heran. Sumerat tak lagi kritis, tak lagi aktif di kelas.

Suatu ketika, Jakir, teman dekatnya Sumerat itu memiliki giliran untuk presentasi di depan kelas. Setelah memaparkan presentasinya, Jakir mempersilakan jika ada yang ingin bertanya. Tapi tak ada satu pun mahasiswa yang bertanya. Karena Sumerat yang biasanya paling sering bertanya di kelas dan hampir tidak pernah absen bertanya itu, hanya diam saja. Terlebih jika Jakir yang presentasi, Sumerat pasti paling geger untuk bertanya. Sumerat dan Jakir selalu beradu argumen di kelas, berdebat dan menjadi tontonan menarik mahasiswa lain di kelas. Mereka berdua seolah-olah seperti para politisi di televisi.

Karena kelas mulai terasa garing, tiba-tiba semua mata mahasiswa di kelas itu mulai tertujuju kepada Sumerat, tak terkecuali dosen yang mengajar di hari itu.

Merasa dirinya menjadi bahan perhatian di kelas itu, Sumerat bersikap biasa saja dan tetap santai. Tapi lama-lama dia merasa malu. Dia kemudian menundukkan kepalanya.

“Sumerat, apa kamu tidak mau bertanya?” tanya dosen yang di semester satu dulu juga mengajarinya itu.

Sumerat diam. Tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Dia tak mengiyakan, tak juga bilang tidak.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya dosen lagi. “Biasanya dulu kamu yang paling aktif, kamu yang paling kritis.” lanjutnya.

Sumerat tetap saja diam. Sampai pada akhirnya jam yang menempel di dinding belakang kelas itu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Kelas pun berakhir.

Setelah kelas berakhir, Sumerat beranjak menuju parkiran motor.

“Sum, tunggu…!” teriak Jakir dari belakang yang bergegas menemuinya. “Nanti malam ngopi ya…” lanjutnya.

“Oke. Dimana?”

“Tempat biasa.”

“Siap…”

Malamnya, di sebuah warung kopi yang tak jauh dari kampus, di tempat biasa mereka ngopi, Sumerat dan Jakir duduk di bagian tengah warung kopi itu setelah memesan secangkir kopi untuk dirinya masing-masing.

“Sum, kenapa di semester ini kau hanya diam saja di kelas?” tanya Jakir membuka percakapan.

“Karena aku tidak berbicara.”

“Ah, kau ini. Aku serius.”

“Aku juga serius. Aku puasa bicara di kelas. Hahaha…” Sumerat tertawa.

Sepertinya Jakir serius ingin tau kenapa Sumerat tak lagi sekritis dulu. Tapi Sumerat memberikan jawaban yang tidak serius. Jakir heran, terlintas beberapa pertanyaan di dalam kepalanya. Apa yang telah merububah perilaku sahabat karibnya itu sehingga 181 derajat perilakunya berbeda sekali saat di kelas. Apakah dia pernah bertemu orang bijak yang kemudian menasehatinya untuk tidak banyak bertanya agar tidak menyudutkan orang? Atau apakah dia pernah membaca buku-buku bijak yang kemudian menginspirasinya?

“Tidak usah bingung begitu Jak,” sahut Sumerat tiba-tiba. “Aku tidak kenapa-kenapa kok. Aku begini karena tidak ingin orang-orang di kelas membeciku. Aku mulai sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang ku lontarkan selama ini di kelas membuat mereka merasa disudutkan. Dan juga jawaban-jawaban yang ku sampaikan itu membuatku merasa paling benar.”

“Hah… Tapi apa yang membuatmu sadar sehingga bisa merubahmu seperti itu?”

“Mungkin hidayah dari Tuhan.” jawab Sumerat cengengesan.

“Ah, kau bercanda lagi. Aku serius!”

“Baik… Begini Jak, sebetulnya aku pernah membaca sebuah cerpen karya Rusdi Mathari yang berjudul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Buku itulah awal mula yang merubah perilakuku saat ini. Buku itu membuatku berpikir tentang realitas kehidupan yang kita jalani saat ini. Khususnya kehidupan yang kujalani saat ini. Termasuk kenapa aku tidak sering bertanya lagi di kelas, karena aku ingin lebih banyak mendengar daripada banyak bicara.”

“Ya… ya… keren… Sum!”

“Tapi, untuk kali ini aku lebih banyak bicara karena kau sepertinya ingin tau sekali. Aku takut kau mati penasaran kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu.”

“Iya… iya… Terus apa lagi Sum?”

“Terus, kopi kita sudah habis ini. Boleh kau pesankan lagi?”

“Ha…ha…ha… Baiklah. Tapi setelah itu kau cerita lagi ya!” Pinta Jakir.

“Siap bosque…”

Jakir pun pergi memesan kopi. Sementara menunggu Jakir yang pergi memesan kopi, mata Sumerat teruju kepada sepasang kekasih yang sedang duduk di bagian pojok warung kopi itu.

Enak sekali bisa duduk ngopi berdua bersama kekasih, pikirnya. Sumerat pun mulai berandai-andai kalau dia memiliki seorang kasih yang bisa menemaninya ngopi.

Belum selesai dia menghayal, Jakir datang membawa kopi yang telah dipesannya.

“Ini kopinya Sum. Lanjutkan ceritanya!”

“Oke. Coba lihat sepasang kekasih yang di sebelah sana itu Jak,” Sumerat menunjuk ke arah pojok sebelah kiri warung kopi itu. “Enak ya, bisa ditemani ngopi sama orang yang kita cintai.” lanjutnya.

“Siapa bilang dia mencintainya? Siapa tahu lelaki itu hanya main-main saja.”

“Kalau dia main-main, perempuan itu buat aku saja.”

“Mana mau dia sama kau Sum!”

“Siapa tau mau, kan lagi berandai-andai.”

“Ha…ha…ha… Terserah kau Sum! Eh, kenapa jadi bahas mereka. Ayo lanjutin ceritamu!”

“Oke. Jadi gini Jak, setelah aku membaca buku itu, aku tiba-tiba teringat kata-kata pepatah yang bilang Jadilah Seperti Padi, Semakin Berisi Semakin Merunduk. Kemudian aku pikir-pikir, untuk menjadi seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk itu, kita perlu melewati prosesnya yaitu dari benih kemudian menjadi padi muda yang tegak seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia tinggi dan seolah-olah ia berisi tapi nyatanya ia masih kosong.”

Sumerat menyeruput kopinya, Jakir serius memperhatikan Sumerat bercerita, sepasang kekasih yang duduk di bagian pojok itu sibuk dengan smartphonenya masing-masing.

“Nah, aku mulai menyadari bahwa saat itu aku merasa sedang di posisi padi muda itu. Yang sombong, yang paling tahu segalanya. Dan pikirku, aku harus melewati itu untuk menjadi padi yang semakin berisi semakin merunduk.”

Sumerat kembali menyeruput kopinya, Jakir tidak. Dia serius dan terkagum-kagum mendengar cerita Sumerat.

“Sebelum lanjut, minum dulu kopimu Jak. Kasian, nanti kopimu basi.” Sumerat cekikan.

“Iya… iya… Siap. Lanjutin Sum!” sahut Jakir.

“Setelah itu aku mulai ingat kata-kata sahabat nabi yaitu Umar Bin Khattab yang diceritakan guruku dulu sewaktu duduk di bangku MTs. Umar Bin Khattab berkata bahwa; ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan rendah hati (tawaddhu’). Dan jika ia memasuki tahapan ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”

“Oh… Aku juga pernah mendengar kata-kata itu sewaktu duduk di bangku SMP dulu. Terus ada lagi tidak yang merubah perilakumu saat ini Sum?”

“Sebetulnya ada satu lagi Jak. Kau pernah nonton sinetron serial azab yang di Indosiar itu kan?”

“Pernah. Tapi apa hubungannya dengan itu?”

“Dari sinetron itu kan banyak muncul meme-meme. Nah, salah satu meme itu menyadarkanku untuk tidak banyak bertanya lagi saat teman presentasi. Meme itu bilang gini; jenazah susah mingkem akibat sering bertanya waktu teman presentasi.” Sumerat menujukkan meme yang dia maksud itu.

“Ha…ha…ha…ha…” Jakir tertawa sangat keras.

Tawa Jakir sontak membuat mata orang-orang di warung kopi itu tertuju kepada mereka berdua. Mereka berdua yang duduk di bagian tengah itu menjadi bahan perhatian semua orang. Tak terkecuali sepasang kekasih yang duduk di bagian pojok itu. Sepasang kekasih itu terlihat merasa terusik oleh suara tawanya Jakir. Tapi, karena tawanya Jakir itu pula sepasang kekasih itu sadar bahwa berjam-jam mereka duduk berdua namun mereka hanya sibuk dengan smartphonenya masing-masing.

Sepasang kekasih itu lantas pergi. Sumerat dan Jakir pun beranjak dari tempat duduknya. Sumerat melihat sepasang kekasih itu berjalan menunduk sembari terus memelototi layar smartphonenya masing-masing.

Mediasi DPM UII dan Aksi Tolak Pembungkaman Demokrasi di Kampus

Himmah Online, Kampus Terpadu – Minggu, 6 Januari 2019, Akbar Rahmad Putra selaku Ketua Komisi I Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII) memanggil tujuh pengguna media sosial Instagram, yang juga mahasiswa UII, terkait komentar mereka di akun @himmahonline. Akbar menilai bahwa komentar tujuh mahasiswa UII pada foto kegiatan Natal yang diunggah pada 4 Januari 2019 tersebut dapat terindikasi penistaan agama. Akbar memanggil ketujuhnya melalui pesan langsung di Instagram.

Pertemuan ketujuh pemilik akun Instagram yang dipanggil oleh DPM UII dilakukan secara terpisah. Tiga orang pertama melakukan mediasi di Kantor Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII pada Minggu sore, 6 Januari 2019. Kemudian empat orang lainnya menyusul untuk melakukan pertemuan dengan DPM UII di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Sardjito pada Senin, 7 Januari 2019.

Pertemuan kedua DPM UII di GKU diwarnai dengan adu argumentasi antara DPM UII, pemilik akun Instagram, dan juga dengan khalayak yang datang pada saat itu. DPM UII sendiri tidak mengira bahwa jumlah yang datang pada saat mediasi. “Ya mediasi awalnya saya agak kaget, karena pada awalnya manggilnya secara informal (red-hanya kepada tujuh orang tersebut)” ujar Akbar.

Pemanggilan ketujuh pengguna akun tersebut dilakukan oleh Akbar sendiri atas nama DPM UII. Ia mengaku bingung terkait cara pemanggilannya, sehingga ia melakukan komunikasi terkait hal itu melalui pesan langsung Instagram kepada tujuh pemilik akun tersebut.

Akbar mengatakan bahwa isi pemanggilan kepada tujuh orang itu berisi perkenalan diri dan maksud untuk bertemu dengan pemilik akun tersebut. DPM UII sendiri menyatakan bahwa adanya mediasi sendiri bertujuan untuk memfasilitasi agar hal-hal seperti ini tidak sampai ke bagian kemahasiswaan dan ingin bertabayun kepada ketujuh pemilik akun tersebut.

Namun, salah satu orang yang dipanggil terkait komentarnya di Instagram @himmahonline pada saat itu, Riska Fajri Salsabila yang dipanggil dengan Salsa, menangkap lain dari maksud Akbar. Ia merasa bahwa pemanggilan tersebut salah satu bentuk ancaman DPM UII kepadanya.

“Ya saya bingung, pada awalnya mendapat dm (red-direct message) atas nama DPM, padahal saya sudah menghapus komentar itu sebelumnya, dan saya tetap langsung meminta maaf pada saat itu juga,” ucap Salsa.

Setelah itu, Salsa mengonfirmasi kepada Akbar bahwa ia tidak bisa bertemu pada hari Senin. “Tetapi, ketika saya mengonfirmasi kalau hari Senin saya sedang tidak bisa untuk bertemu, tiba-tiba masnya bilang akan mengonfirmasi hal ini ke pihak direktorat kemahasiswaan. Saya makin takut dan bingung,” lanjutnya.

Ditambah lagi, Salsa mendapat pesan akhir dari DPM UII melalui Akbar yang berisi, “Sebelumnya kami memohon maaf jika keputusan yang kami buat di luar dugaan kami”. Salsa tidak mengerti maksud Akbar menyatakan seperti itu. Namun, Salsa mengaku efek pesan pemanggilan tersebut membuatnya takut untuk berkomentar lagi di media sosial.

DPM UII kemudian memaklumi penjelasan Salsa pada saat mediasi berlangsung dan menganggap permasalahannya sudah selesai. Walaupun pada saat mediasi berlangsung, beberapa orang menyayangkan sikap DPM UII terkait pemanggilan yang dilakukan.

Begitu pula Billy Hanggara, yang juga dipanggil terkait komentarnya di Instagram @himmahonline. Billy mempertanyakan terkait tabayun yang diucapkan oleh DPM. “Memang tabayun bentuknya seperti ini ya? Dengan cara memanggil teman-teman saya dengan nada intimidatif? Tabayun yang seperti apa? Apa dengan cara menyebarluaskan kembali hal ini di Instagram Story pribadi?” ujarnya.

Sebelumnya diketahui bahwa Akbar secara pribadi juga menyebarluaskan komentar-komentar di Instagram @himmahonline ini di Instagram Story miliknya. Terkait hal itu, Akbar meminta maaf jika beberapa orang merasa terintimidasi atas ajakannya untuk bertemu dan unggahan Instagram Story miliknya.

Kemudian, terkait empat orang lainnya yang dipanggil DPM UII, reporter himmahonline.id sudah mencoba menghubungi orang-orang tersebut. Namun, yang bersangkutan memohon maaf karena sedang tidak bersedia untuk diwawancarai. Lalu Reza Maraghi, salah satu yang sempat mendapat pesan langsung Instagram oleh Akbar atas nama DPM UII juga sudah mengklarifikasi komentarnya sehingga ia tidak hadir sebagai orang yang dipanggil pada saat mediasi.

Aksi Aliansi Demokratisasi Kampus pada saat Mediasi DPM UII

Mediasi DPM UII yang berlangsung pada Senin, 7 Januari 2019 di GKU Prof.Sardjito UII turut mengiringi aksi beberapa mahasiswa yang datang mengenakan selotip hitam untuk menutup mulutnya serta membawa atribut berupa tuntutan kepada DPM UII.

Aksi tersebut dilakukan dalam rangka melakukan seruan tolak pembungkaman ruang demokrasi di kampus yang dilakukan oleh Aliansi Demokratisasi Kampus. Aliansi Demokratisasi Kampus sendiri terbentuk dari kumpulan individu yang diantaranya juga tergabung dari beberapa komunitas yang ada di UII.

Menurut Rizaldi Ageng dan Alif Madani selaku koordinator aksi, aliansi ini berangkat dari akumulasi keresahan beberapa mahasiswa UII atas tertutupnya ruang demokrasi di UII. Aksi perdana yang dilakukan oleh aliansi tersebut diakui Aldi maupun Alif tidak hanya berdasarkan dengan apa yang terjadi kepada tujuh orang yang dipanggil DPM UII, tetapi untuk mewakili semua kasus pembungkaman demokrasi yang pernah terjadi di UII.

Akbar menanggapi tentang aksi yang menurutnya tidak memiliki sangkut paut dengan konteks mediasi ini. “Makanya saya bingung, aksi solidaritas membungkam demokrasi dari segi mananya. Kalau kita bicara masalah bungkam demokrasi, UU ITE (red- Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) itu semua membungkam demokrasi. Kalau mau berbicara lebih jauh. Tetapi karena saya basis bukan anak hukum, saya kira tak berhaklah,” ucapnya.

Terkait pengawalan kasus pemanggilan kepada tujuh pemilik akun Instagram tersebut, Aldi mewakili aliansi kemudian memperkuat alasannya tentang pembungkaman demokrasi yang dimaksud.

“Karena kita tidak berbicara jalur hukum kan ya, mereka cuma DPM dan legitimasi hukumnya kita patut mempertanyakan sebagai apa? Itu pertama. Memang komentarnya di kolom Himmah Online, tetapi kan disitu jejaring sosial. Jejaring sosial kan berarti dia pakai akunnya sendiri dan mempertanggungjawabkan apa yang dia katakan sendiri. Tidak ada sangkut pautnya dengan DPM,” jelasnya.

Alif kemudian menegaskan bahwa mereka bukan membela apa yang dikatakan dalam komentar-komentar tersebut. Menurut Alif, setiap yang berkomentar atas nama pribadi merupakan tanggung jawab mereka secara transendental. “Itu kan pertanggungjawaban dia secara transendental, antara dia dengan Yang Kuasa. Misal yang dipermasalahkan adalah maksud arti kata, itu saya kira yo kui (red- iya itu) urusan pribadi juga,” tambahnya.

Alif juga kemudian membuka cerita tentang pembungkaman yang kerap kali terjadi di UII. Pertama, saat akun Instagram @uiistory dianggap menyebarkan berita bohong dan mencemarkan nama baik organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kasus tersebut juga sempat diancam dilaporkan dengan dalih UU ITE. Kedua, kasus larangan penyelenggaraan diskusi komunitas Lingkar Studi Sosialis (LSS) oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum (DPM FH) UII dengan alasan administrasi izin walaupun menurut Aldi setelah ditelaah terdapat alasan lain terkait kriteria organisasi eksternal.

Ketiga, kasus video yang diunggah komunitas Judul Skripsi di kanal Youtube terkait dengan Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) UII dengan alasan pencemaran baik. Kasus tersebut diketahui sudah dilaporkan kepada kepolisian terhadap Adnan dengan dalih hukum yang sama, yaitu UU ITE. Kemudian yang terakhir, dalih UU KUHP 156 A membayangi ketujuh orang yang dipanggil DPM UII atas komentarnya di sosial media.

Bersangkutan tentang pembungkaman demokrasi, Zikra Wahyudi yang menghadiri mediasi kemudian membuka pertanyaan tentang apa yang selama ini terjadi di UII. Ia mempertanyakan sejauh mana komitmen DPM UII dalam menjaga ruang demokrasi di UII.

“Kita tahu itu pasal-pasal karet. Dan semestinya kita sebagai mahasiswa meng-counter pasal-pasal itu. Kemarin itu Adnan yang dilaporkan oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) yang juga merupakan DPM FE UII. Saya hanya mempertanyakan bagaimana respon dari mahasiswa FE itu sendiri? Ditambah lagi pesan mas Akbar yang bocor, ‘Oh, kasus ini bisa kena dua sampai enam semester skorsing’. Saya memikirkan apakah secepat itu ya mikirnya,” imbuh Zikra.

Dimas Nugraha selaku Wakil Ketua DPM UII kemudian mengklarifikasi bahwa apa yang terjadi terhadap kasus Adnan merupakan pelaporan pribadi dari Indra Bayu yang sekarang merupakan DPM FE UII terpilih. Sehingga pelaporan tersebut tidak mengatasnamakan DPM UII tetapi murni dari Indra Bayu kepada Adnan.

Begitu pula terkait obrolan Line yang sudah tersebar luas, ia menjelaskan bahwa itu ada konteks yang hilang dari keseluruhan cerita yang terjadi. Dimas kemudian menambahkan, “Mengapa mas Akbar menyampaikan itu? Karena pada saat itu tidak ada yang menaruh perhatian pada video itu. Ini kan melihat situasi dan kondisi yang terjadi di kampus kita? Nah maksud Akbar adalah sarkas,” jelasnya.

Aldi menanggapi hal tersebut saat diwawancarai seusai mediasi DPM UII. “Sering kebalik narasinya. Tadi ngomong Judul Skripsi (red-pelaporan Adnan karena video Judul Skripsi) itu permasalahan pribadi, itu ungkapan teman-teman DPM. Sekarang masalah pribadi (red- komentar individu di Instagram Himmah Online), mereka bawa-bawa ke urusan organisasi. Itu kan lucu kalo menurut saya,” tanggapnya.

Alif juga secara pribadi berharap individu-individu yang mempunyai jabatan dalam DPM UII tidak menggunakan pasal-pasal tersebut.

“Karena UU ITE sendiri, pada praktiknya itu selalu hampir sering digunakan bahkan oleh penguasa yang punya kuasa lebih untuk mementung orang-orang yang ada di bawah ini, dalam hal ini bisa jadi kami. Sebagai mahasiswa harusnya permasalahan-permasalah seperti ini bisa berakhir di ruang diskusi,” tambahnya.

Alif khawatir hal seperti ini membuat mahasiswa UII menjadi semakin apatis dan takut untuk berpendapat, disaat ia berharap mahasiswa seharusnya bisa aktif dalam mengawal kelembagaan.

Aldi kemudian menambahkan, “Sebenarnya seperti ini, coba balik saya bertanya kepada DPM. Narasi-narasi untuk pelaporan pasal penodaan agama dan lain sebagainya yang membangun kan malah mereka, DPM UII beralasan ‘kita takut nanti teman- teman yang berkomentar itu dilaporin’. Kan mereka yang membangun narasi itu, intinya DPM itu disini sebagai apa? Sebagai Dewan Perwakilan Mahasiswa yang menyalurkan aspirasi-aspirasi dan menjaga ruang demokrasi kampus, atau dia sebagai polisi moral?” pungkasnya.

Dimas kemudian memutuskan untuk mengambil jalan tengah untuk menenangkan situasi yang terjadi pada saat mediasi. Ia mengatakan bahwa akan menghubungi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pemilwa UII untuk mempublikasikan hal yang sebenarnya terkait pada kasus pelaporan Adnan.

Kemudian ia mengakhiri mediasi tentang pemanggilan terhadap tujuh orang yang berkomentar di Instagram @himmahonline. ”Kalau seperti itu berarti ini memang kekeliruan, bahwa maksud dari teman-teman tidak seperti yang ditanggapi oleh teman-teman lain. Saya juga akan menyampaikan hasil dari tabayun ini. Nanti di akun DPM, kami kabarkan terkait posting-an kemarin tidak ada masalah dan sudah clear,” ucap Dimas.

Akbar kemudian menambahkan, “Kami kan tidak ingin memperpanjang masalahnya. Ya kalau dari teman-teman sendiri seperti itu, saya dari diri saya pribadi memohon maaf jika menganggap itu ancaman. Dan saya juga akan buat posting-an (red-permohonan maaf) juga secara pribadi. Nanti yang pribadi ada, DPM juga ada,” terangnya.

Namun, sampai berita ini diterbitkan, belum ada permohonan maaf dari Akbar secara pribadi dan siara pers dari DPM UII seperti yang dijanjikan pada saat konklusi mediasi kemarin.

Sementara itu, Aldi selaku koordinator aksi pun angkat berbicara sebelum mediasi yang dilakukan oleh DPM UII dibubarkan. Ia menyampaikan lima tuntutan utama dari aksi oleh Aliansi Demokratisasi Kampus.

Pertama, pecat anggota Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII yang anti demokrasi. Kedua, menolak penyalahgunaan jabatan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII untuk melakukan kriminalisasi terhadap mahasiswa. Ketiga, menolak penggunaan pasal-pasal karet UU ITE dan pasal penodaan agama yang menciderai demokrasi di ruang akademik UII. Keempat, buka kebebasan demokrasi di ruang akademik UII. Dan yang terakhir, ciptakan ruang akademik yang demokratis, ilmiah, dan menjunjung tinggi budaya dialektika.

Alif kemudian dalam sesi wawancara usai mengawal mediasi DPM UII mengatakan bahwa aksi-aksi seperti ini tidak akan berhenti pada saat mediasi ini saja.

“Siapa pun yang mendapatkan pembungkaman atas demokrasi di UII, kami akan selalu ada di belakang untuk mengawal mereka,” tutup Alif.

Editor: Hana Maulina Salsabila

Damai Natal di Gereja St. Antonius Kotabaru

Suasana Misa. Foto oleh: Velya Juwita
Pengamanan. Foto oleh: Pradipta Kurniawan
Romo Antonius Padua Danang, SJ. Foto oleh: Pradipta Kurniawan
Penerimaan Komuni Suci. Foto oleh: Hilmi Fahrul
Salib Crucifix. Foto oleh: M. Billy Hanggara
Membaca. Foto oleh: Monica Daffy

Narasi oleh: Velya Juwita

Misa malam Natal diadakan oleh Gereja Katolik St. Antonius Kotabaru, Yogyakarta, pada tanggal 24 Desember 2018 lalu dalam rangka menyambut perayaan Natal serta memanjatkan kidung kepada Tuhan Yesus.

Tema Natal yang dipilih tahun ini oleh Gereja Katolik St. Antonius Kotabaru adalah “Hadir-Mu Memanggilku untuk Mewujudkan Kebaikan Bersama.” Riuh ramai umat Katolik terasa penuh khidmat saat melaksanaan ibadah pada malam itu.

Tak hanya di dalam Gereja, ribuan jamaah lainnya tumpah sampai bagian pelataran luar Gereja. Jumlah umat Katolik yang ikut menghadiri Misa Malam Natal ditaksir oleh pihak Gereja mencapai 5000 jemaah.

Pelaksanaan Misa natal sendiri, pihak gereja membaginya menjadi tiga sesi: sesi pertama dimulai pukul 17.00 WIB, sesi kedua pukul 20.00 WIB, dan sesi terakhir pukul 23.00 WIB.

Dari segi pengamanan, malam itu petugas keamanan dari kepolisian ikut berjaga mengamankan jalannya Misa malam Natal, Salah satun prosedur keamanan yang dilakukan adalah dengan cara memeriksa setiap barang bawaan pengunjung melalui pendeteksi X-ray milik Direktorat Pengamanan Objek Vital Polda DIY.

Reporter: Pradipta Kurniawan, Monica Daffy, Hilmi Fahrul, Velya Juwita, M. Billy Hanggara

Editor narasi: Zikra Wahyudi

Minim Regulasi Tentang Saksi Pemilwa UII

Saksi saat proses penghitungan suara di Pemilwa D3 FE dan FTSP ditunjuk secara acak. Hal tersebut karena seluruh calon wakil mahasiswa tidak mengirim delegasi saksi dan minim regulasi tentangnya.

Himmah Online, Kampus Terpadu – Penghitungan suara hari terakhir Pemilihan Umum Wakil Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (Pemilwa UII) di kampus D3 Fakultas Ekonomi (FE), Jumat, 19 Oktober 2018, hanya dihadiri oleh dua orang saksi yang ditunjuk secara acak tanpa melalui pendelegasian dari calon wakil mahasiswa.

Berdasarkan Peraturan Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (PKM UII) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pemilihan Umum Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia, pada pasal 44 ayat 4 menyebutkan bahwa pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi masing-masing calon wakil mahasiswa dan/atau calon wakil mahasiswa pemilwa. Selanjutnya pada ayat 6 bahwa saksi sebagaimana dimaksud ayat (4) harus menyerahkan surat mandat dari calon wakil mahasiswa.

Menurut Clarte Gagah selaku Panitia Pengawas Pemila (Panwasla) yang ada di lokasi saat itu, pengambilan saksi secara acak dilakukan karena adanya perbedaan wilayah antara kampus Program D3 FE yang berada di kampus terpadu dengan S1 FE di Condong Catur.

“Mengenai regulasi untuk saksi, jujur saya kurang mengerti, tapi untuk perwakilan yang maju di D3 kan hanya saudara Ivan. Jadi ya secara tidak langsung, cuma dia yang berhak mendelegasikan saksinya di D3. Walaupun di hari terakhir, kemungkinan perhitungan memang difokuskan di FE bawah karena kejadian kemarin (kotak kosong FE UII-red),” ujar Gagah.

Ia juga menambahkan bahwa penyaksian perhitungan suara dari tahun ke tahun dilakukan dengan cara yang sama. Panwaslu akan mengutus Panitia Wilayah (Panwil) setiap fakultas untuk menunjuk salah satu atau lebih mahasiswa aktif di fakultas tersebut untuk menjadi saksi tanpa delegasi dari calon wakil mahasiswa.

Ivan Septiawan, yang merupakan anggota legislatif terpilih dari Fakultas Ekonomi menyatakan bahwa tidak mengetahui adanya aturan mengenai saksi pada perhitungan suara.

“Saya kurang tahu. Hanya saja, informasi biasanya selalu disampaikan oleh Panwil. Seperti informasi debat calon legislatif kemarin, mereka cukup cepat memberikan informasi,” ucap Ivan yang merupakan mahasiswa D3 FE 2016.

Tidak hanya di D3 FE, sedikitnya jumlah saksi penghitungan suara juga ditemukan di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Bedanya, penunjukkan saksi tidak dilakukan secara acak melainkan mahasiswa aktif yang aktif atau pernah mengikuti kelembagaan dan sudah dapat membedakan mana surat suara yang sah dan tidak.

“Masalah transparansi, di sana juga terdapat panitia Komisis Pemilihan Umum (KPU) dan Panwasla jadi sudah cukup untuk meyakinkan tidak adanya kecurangan,” papar Reza Kurniawan Mahasiswa Arsitektur 2016 selaku anggota legislatif terpilih FTSP.

Gharby Saidi selaku Ketua KPU mengonfirmasi sosialisasi sudah dilakukan. Sedari awal, KPU sudah berupaya untuk sosialisasi mengenai perhitungan suara dan pembentukan tim sukses terutama kepada calon wakil mahasiswa dan juga kesuluruhan mahasiswa pada umumnya.

“Sebenarnya kami sudah pernah menyosialisasikan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) bahwa calon wakil mahasiswa dihimbau ketika perhitungan suara untuk mengirimkan tim suksesnya atau perwakilan darinya untuk melihat hasil. Sehingga kalau ada perubahan, maka si calon wakil mahasiswa itu tahu,” jelas Gharby.

Minim Regulasi Tentang Saksi

Gharby menjelaskan ketika pelaksanaan di lapangan, seluruh calon wakil mahasiswa tidak mendaftarkan tim sukses (timses)-nya maka perwakilan maupun delegasi saksi tidak ada. Terkait prosedur penghitungan suara, seperti yang dijelaskan pada PKM UII dan PKPU jika calon mahasiswa tidak mengirimkan tim sukses atau tim kampanyenya maka proses penghitungan suara tetap dinyatakan sah. Hal tersebut sebatas himbauan dan bukan keharusan.

“Karena sampai dibentuk pun, tidak ada yang mendaftarkan tim kampanye, sehingga di PKPU kami membuat aturan untuk dapat dilakukan. Di sini ada frasa ‘dapat’ sehingga menjadi opsional untuk membentuk tim kampanye itu sendiri,” imbuhnya.

Senada dengan pernyataan Gharby, Reza juga menyatakan telah menerima himbauan dari KPU terkait pembentukan tim sukses. “Waktu Pemilwa kemarin ada himbauan untuk menyerahkan nama timses, tapi saya rasa tidak ditekankan,” tambahnya.

Selain itu, ketika dilakukan pengecekan ulang oleh reporter Himmahonline.id melalui PKPU yang dimaksudkan, aturan terkait saksi dari delegasi calon wakil mahasiswa memang belum ada. Kendati demikian, aturan pembahasan mengenai tim sukses memang disebutkan dalam pasal 20 ayat 1-4.

Pada pasal 20 ayat 1 menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan kampanye Pemilwa KM UII calon wakil mahasiswa membentuk tim kampanye. Kemudian disebutkan pada ayat 3, tim kampanye wajb didaftarkan kepada KPU KM UII selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum masa kampanye dimulai.

Menanggapi hal tersebut, Faisol Soleh selaku DPM demisioner Fakultas Hukum periode 2017/2018 mengatakan bahwa ketika belum adanya peraturan teknis terkait saksi, penunjukkan saksi dapat dilakukan dengan memastikan orang yang ditunjuk adalah orang yang netral dan mengetahui teknis penghitungan suara.

Faisol juga menambahkan apabila penujukkan saksi menjadi persoalan, maka yang menjadi persoalan adalah kriteria seperti apa mahasiswa yang netral itu.

“Padahal kan semua mahasiswa sudah mempunyai pilihannya masing-masing sehingga itu subjektif semua. Jadi, ketika dihadapkan dengan Pemilwa kemarin, susah untuk melihat mahasiswa yang netral itu seperti apa,” ujarnya.

Menurut Faisol, tentang kurangnya regulasi yang objektif terkait saksi, dikhawatirkan akan berdampak pada keabsahan surat suara. Namun, di lain sisi hal tersebut juga dinilai positif karena apabila saksi hanya dari delegasi calon, partisipasi mahasiswa aktif yang lain kurang dapat diikutsertakan.

Gharby juga menyayangkan kurangnya partisipasi aktif dari seluruh kalangan mahasiswa. Terutama panitia maupun calon wakil mahasiswa umumnya yang minim pengetahuan tentang regulasi Pemilwa. Ia menambahkan bahwa penyediaan media sosial dan pembukaan forum terbatas seharusnya dinilai cukup untuk para mahasiswa dapat menjalankan proses seperti aturan yang telah ditetapkan.

“Walaupun penyelenggaraan sosialisasi dari kami kurang komprehensif, tetapi partisipasi setiap anggota maupun peserta Pemilwa diharapkan juga dapat turut serta membantu penyebaran informasi,” ujarnya.

Faisol ikut menjelaskan seputar sengkarut regulasi dan pelaksanaan Pemilwa tahun ini bukan kesalahan dari penyelenggara ataupun partisipan. Hal ini menurutnya dikarenakan adanya perubahan dari kepanitiaan dan kewenangan yang baru pada tim transisi.

“Tahun ini kita banyak melakukan perombakan struktur transisi sehingga hal tersebut menjadi tantangan pada penyelenggara kali ini untuk penyebaran informasi. Melihat masih banyak juga para mahasiswa yang belum terjamah tentang peraturan dan mekanismenya sendiri,” papar Faisol.

Sama halnya dengan Faisol, Gagah selaku Panwasla juga berharap agar kinerja KPU periode yang akan datang supaya dapat disempurnakan lagi.

“Semoga ke depannya untuk Dewan Permusyawaratan Mahasiswa yang akan menjabat supaya pembentukan tim transisi tidak dilakukan dalam waktu yang mepet. Sehingga pelaksanaan Pemilwa dapat terorganisir dengan baik dan sosialisasi juga bisa berjalan lebih lancar,” jelas Gagah.

Baik Gagah maupun Gharby juga sepakat agar sosialisasi dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pers setiap fakultas ataupun lembaga lainnya terkait penyebaran informasi terbaru seputar Pemilwa. Hal ini bertujuan agar para mahasiswa terhindar dari informasi hoaks ataupun ujaran kebencian dengan maksud penggiringan opini.

Reporter: Hersa Ajeng P., Janneta Filza A., Yustisia Andhini L., Dadang Puruhita, Jalaludin Al-ayubi

Editor: Niken Caesanda Rizqi

Lebih Pilih Bungkam daripada Pecat Pemerkosa

0

HimmahOnline, Yogyakarta – Kamis, 22 November 2018, aliansi aksi solidaritas melawan kasus kekerasan seksual kembali beraksi di Universtias Gadjah Mada (UGM) yang juga bertepatan dengan agenda wisuda. Aliansi yang terdiri dari berbagai organisasi seperti Distraksi, Lingkar Studi Sosialis, KPO-PRP, PEMBEBASAN, Aliansi Mahasiswa Papua, Siempre, Mitra Wacana, Partai Srikandi UGM, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan berbagai organisasi lainnya mengharapkan pihak Rektorat UGM mendengar tuntutan-tuntutan mereka mengenai kasus kekerasan seksual agar tidak lagi muncul korban lain, seperti Agni. 

Sejak pagi, massa aksi sudah mulai berkeliling. Dari titik kumpul, massa bergerak menuju wilayah rektorat serta Grha Sabha Pramana (GSP), namun harus terhenti di depan Fakultas Kehutanan karena diblokade oleh Satuan Keamanan Kampus (SKK) UGM.

Rizaldi Wicaksono selaku koordinator umum aksi menyatakan tujuan dilaksanakannya aksi ini adalah, untuk memberitahu para orang tua serta tamu undangan atas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi.

HS telah diketahui masuk dalam daftar yudisium wisuda bulan November. Namun, namanya telah dicabut dari calon wisuda UGM bulan November, karena pihak birokrasi kampus UGM tengah menindak lanjuti kasusnya dengan Agni. Sedangkan untuk kondisi Agni saat ini sangat tertutup. Hal ini akan terus dijaga agar psikologis korban dapat membaik dan terhindar dari suara-suara negatif yang dapat kapan saja menghujam dirinya.

Rizaldi menyampaikan jika kasus Agni ini bukanlah kali pertama, sebab sebenarnya terdapat kasus-kasus serupa yang terpendam sejak lama. Agar kasus pelecehan seksual tidak hanya menjadi angin lalu saja, harapan dari aliansi aksi massa adalah agar HS segera ditindaklanjuti secara tegas yaitu dikeluarkan dari kampus.

“Tuntutan utama kami adalah jelas mengeluarkan pelaku kekerasan seksual di kampus, pecat HS. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat supaya secara otomatis pelaku-pelaku dapat langsung dikeluarkan dari kampus,” ujar Rizaldi.

Para penyintas lainnya yang ingin membuka suara lama-lama menjadi merasa takut karena eksekusi dari pihak UGM sendiri terlalu berlarut-larut. “Namun, dari pihak UGM sendiri terkesan mengulur-ulur kasus ini terlalu lama,” tambah Rizaldi.

Tanggapan Sesama Penyintas

Salah satu partisipan aksi yang tidak ingin disebutkan namanya juga pernah mengalami hal serupa dengan Agni. Ia paham betul perasaan tidak aman yang dirasakan Agni akibat dilecehkan oleh seseorang yang dibilang cukup dekat, sehingga takut untuk melawan pada saat itu. Ia tidak ingin ketidakadilan yang menimpanya juga terjadi pada Agni yang telah berani melakukan hal hebat. “Agni telah berjuang, berani, dan lantang dalam mencari keadilan,” tuturnya.

Ia juga menambahkan bahwa, salah satu upaya yang paling nyata untuk menunjukan perlawanan ketika mendapatkan kekerasan seksual adalah mencari keadilan bersama gerakan. “Saya percaya, hal penting yang dapat dibangun ketika mendapat kekerasan seksual adalah melawan dan mencari gerakan bersama gerakan, salah satunya gerakan aksi dan bangun gerakan dari aksi tersebut,” lanjutnya.

Ia juga tidak lupa menuturkan ketidak percayaannya kepada pihak berwajib untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual yang dialami Agni. “Dengan pertanyaan seperti itu, apakah korban merasa nyaman? Hal ini membuat korban semakin bungkam untuk melaporkan kasusnya,” tuturnya.

Ia juga ikut menilai, bahwa mediasi secara kekeluargaan yang telah dilakukan oleh pihak rektorat untuk Agni dan HS dinilai kurang efektif. “Tanggapan rektor yang menyebutkan ‘anak kami kedua-duanya tidak boleh ada yang dihancurkan,’ jika dibilang hancur atau tidak, korban sebenarnya sudah hancur sejak awal, karena korban terus berjuang, ia juga akan terus tersiksa dengan bayang-bayang yang pernah terjadi pada hidupnya,” tambahnya.

Narasumber kami juga ikut mengecam pihak kampus agar berani bersikap tegas terhadap pelaku pemerkosaan. “Perbuatannya telah memasuki pelanggaran berat, kampus harus bersikap tegas untuk mengeluarkan pelaku, sehingga tidak ada lagi pelaku-pelaku baru yang nantinya akan bertambah,” tambahnya lagi.

Reporter: M. Rizqy Rosi M, Ika Pratiwi Indah Yulianti.

Editor: Audy Muhammad Lanta

Interpretasi Kulit Putih, Tolak Ukur Kecantikan Wanita Indonesia

Judul: Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional

Penulis: L. Ayu Saraswati

Penerjemah: Ninus D. Andarnuswari

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2013

Tahun Terjemahan: 2017

Tebal: xiv/254 halaman

Sering kali kulit putih selalu diidentikkan dengan kecantikan. Jika warna kulitmu putih, bersih, bersinar, bak sehabis dicuci oleh detergen, maka kamu terkualifikasi dalam golongan orang-orang yang berparas cantik. Entah sejak kapan kategorisasi dan sentimen ini muncul. Hal tersebut lalu menggerakkan wanita-wanita terutama di Indonesia, berkompetisi untuk memodifikasi warna kulitnya agar terlihat tampak lebih putih.

Tidak hanya di Indonesia, standar kulit putih pun menjadi salah satu tren dunia dalam wacana kecantikan. Tak jarang, stigma rasial ini dimanfaatkan oleh para perusahaan kecantikan untuk lebih giat memproduksi produk-produk pemutih kulitnya. Akhirnya dapat dijelaskan bagaimana relasi kuasa mengambil peran untuk mengekspoitasi ruang ‘warna’ ini.

Implikasi dari isu putih sebagai wacana kecantikan sebenarnya sudah menjangkiti banyak kultur dan mengkonstruksi perspektif dunia tentang wanita. Selain itu, kecantikan transnasional yang dibahas oleh Luh Ayu Saraswati dalam bukunya ini, membuka mata kita bahwa putih dalam bingkai stigma, memiliki asal muasal dalam sejarah perjalanannya di Indonesia.

Luh Ayu tak hanya membahas tentang konsepsi kulit putih kepada kaum hawa, tetapi juga membahas lebih jauh tentang perjalanan ras, warna kulit, dan kecantikan yang bersifat transnasional di Indonesia.

Sejatinya, konstruksi sosial yang dibangun tentang pemaknaan putih tidak lepas dari peran kaum pria yang turut di dalamnya. Di sana terdapat banyak penelitian dan bukti dari kutipan literatur yang membahas konsepsi kulit putih dari masa ke masa.

Luh ayu mengawali konsepsi putih dari adaptasi epos Ramayana pada abad ke-sembilan Masehi. Terdapat banyak kutipan kisah Ramayana sendiri yang menarik ‘warna’ ke dalam bentuk perasaan dan emosi di dalamnya. Sederhananya seperti hitam diidentikkan buruk, dan putih merupakan lambang dari kesucian dan keindahan.

Menurut Luh Ayu, emotionscape inilah yang nantinya akan membawa konsep warna kulit dalam pemaknaan visual terhadap ras. Walaupun pada kisah ini tidak semua berarti ideal kecantikan mengonfigurasi kategori identitas tentang warna kulit dan gender.

Perjalanan pembentukan konsepsi putih ini tak berhenti di situ saja. Zaman kolonialisme pun tak luput dari sejarah dari sumber-sumber stigmatisasi tadi. Kolonialisme Belanda misalnya, yang membungkus kecantikan dalam wujud putih Kaukasia di Indonesia. Faktor utama yang semakin menjadikan putih sebagai tren ini, dikarenakan gencarnya iklan pemutih kulit yang saat itu didominasi oleh model ras Kaukasia.

Respon yang diberikan pun tidak sedikit. Putih Kaukasia kala itu menandakan nilai kelas dan tahta wanita di mata kaum pria zaman kolonialisme Belanda, yang kemudian disebut sebagai putih kosmopolitan. Wajar rasanya dengan diambilnya model iklan pemutih kulit dari ras Kaukasia saat itu di setiap iklan produknya, membuat wanita Indonesia berlomba-lomba mengonsumsi pemutih kulit tersebut.

Lain yang menjajah, lain pula ideologis kecantikan yang dibawanya. Jepang ketika menjajah Indonesia, kulit putih Asia yang digaungkan sebagai kecantikan ideal para wanita di Asia. Begitu seterusnya hingga ketika kita mulai mempunyai kesadaran kemerdekaan, putih Indonesia berdiri sendiri sebagai konstruksi kecantikan idealis.

Baik putih Kaukasia, putih Asia, hingga putih Indonesia ini memiliki sejarah perjalanan waktunya yang diindikatori oleh iklan krim pemutih di majalah-majalah kosmopolitan. Dahulu, model yang dipakai dalam iklan krim pemutih kulit berjalan sesuai konsepsi putih pada zamannya.

Lalu mengapa putih? Tulis Luh Ayu dalam simpulan bab itu. Ia menganggap bahwa ini menarik, ketika konstruksi putih Eropa dan Jepang menyoroti bagaimana ras itu dilebur dan dikategorikan dari warna kulit. Bahkan di Amerika Serikat, warna kulit berfungsi sebagai penanda ras.

“Namun, mengherankan memang mengapa orang sedemikian ngotot mengklaim diri (baik Kaukasia maupun Jepang) sebagai penjelmaan putih. Apakah warna putih memiliki makna-makna konotatif yang baik?” (Hal. 96)

Perspektif akan putih ini menurut Luh Ayu, secara global membuat orang dari bermacam bangsa mengklaim putih milik mereka sendiri. Modernitas yang kerap dibaurkan dengan Barat/putih menjadi salah satu faktornya. Sehingga menurut ahli geografi sosial, Alastair Bonnet, ras putih diuntungkan dengan konstruksi sosial yang sudah menghierarki secara global tersebut.

Di bab berikutnya, buku ini menyuguhkan cerita tentang bagaimana iklan-iklan pemutih kulit memberikan afek dan dampak dalam pembentukan perspektif wanita Indonesia. Ruang pun memainkan peran penting dalam mengartikulasikan gender dan ras.

Ruang mendapat atensi sebagai pembentuk identitas narasi kebangsaan. Artinya, mengklaim identitas seseorang berarti juga mengklaim ruang nasional seseorang. Dalam arti spesifik, ruang dan tempat adalah modus untuk mengklasifikasikan identitas nasional yang terdiri dari identitas rasial berdasarkan gender.

Menurut saya, bagian-bagian terakhir adalah bagian terbaik dari buku ini. Hal itu nampak jelas bagaimana penulis akhirnya mengisyaratkan dengan jelas pemaparan sejarah nan panjang di empat bab pertama. Malu dan warna kulit menjadi topik utamanya. Tak luput juga disertai pengakuan para wanita akan warna kulit dan praktik pemutih kulit.

Lebih lanjut dijelaskan, bagaimana latar belakang praktik itu terjadi karena penghakiman lingkungan mereka akan warna kulit yang dimiliki. Secara mudahnya warna kulit menjadi bahan lelucon yang kemudian menimbulkan dampak malu. Sehingga praktik pemutihan kulit menjadi hal yang lazim untuk menaikkan harga diri.

Penulis memberi penjelasan dalam bab sebelumnya bahwa memberi warna pada malu sebenarnya menjadi isu transnasional yang sudah terjadi persoalan dari zaman prakolonial.

Sesuatu yang menarik dari buku ini adalah bagaimana sang penulis, Luh Ayu, melacak peredaran makna putih dalam bingkai stigma citra-citra kecantikan. Dengan berfokus kepada wanita di Indonesia, Luh Ayu menyajikan citra kecantikan lintas geografis, ruang, dan waktu yang bersifat dua arah. Luh Ayu tidak menampik bahwa imperialisme Barat berperan dalam konstruksi putih, tetapi ia juga menjelaskan bahwa budaya Timur juga ikut andil di dalamnya.

Isu putih yang dibahas tentang ras dan gender dalam buku ini dikemas sangat menarik dan unik, dibalut dengan akar-akar dasar historis, budaya, dan globalisasi yang komprehensif. Sangat cocok untuk kamu yang ingin ditantang buku dengan isu yang “tampak” remeh, tetapi dilengkapi riset dan referensi yang luar biasa banyaknya.

Luh Ayu juga secara tidak sengaja membuat pembaca terperosok kepada kesadaran, putih adalah perpolitikan yang tak kalah urgen dari isu lainnya. Namun, dengan banyaknya perspektif yang dibahas dalam buku ini, sebenarnya masih banyak lagi aspek yang perlu dikaji lebih mendalam.

Pada akhirnya, meskipun disampaikan secara implisit, buku ini mampu membawa pembaca untuk mengobrak-abrik imajinasinya melintasi emosi, afeksi, dan konsepsi putih yang mencitra dirinya sebagai bagian dari isu yang sebenarnya berperan penting di setiap sisi perputaran histori yang menular secara kultural, bukan karena kodrati manusia.

Interpretasi putih di era modernisasi Indonesia

Memang isu putih di Indonesia seakan tak luput dimakan waktu. Di era sekarang dan entah untuk selanjutnya, kulit putih masih menjadi tren di kalangan anak muda. Hal ini dibuktikan dari survei ZAP Clinic terhadap 17.889 wanita Indonesia yang mengonsumsi produk kecantikan. Terdapat 73,1% responden wanita rentang usia 18 sampai 65 tahun mengartikulasikan bahwa cantik itu adalah ketika seorang wanita memiliki kulit yang bersih, cerah, dan bersinar.

Bahkan sebanyak 24,6% responden wanita berusia dibawah 18 tahun, menganggap lebih penting mempunyai kulit putih ketimbang mempunyai perasaan bahagia. Dari sana muncul anggapan bagaimana mungkin stereotip ini bisa timbul di benak anak muda Indonesia, terlebih kepada wanita.

Lebih lanjut menurut survei tersebut, mayoritas responden lebih memilih untuk menggunakan produk kecantikan Korea yang lebih ampuh untuk merawat kulit, tanpa menghiraukan faktor perbedaan iklim yang terjadi dengan penggunaan bahan yang dipakai. Hal ini membuktikan bahwa invasi Korea kini memegang andil penting dalam citra kecantikan di Indonesia era modern.

Sebaliknya jika diperhatikan secara selintas, beberapa negara luar dan produk kecantikannya mulai mengkampanyekan kecantikan tidak dipandang melalui warna kulit. Seperti artikel dalam majalah Marie Clarie Indonesia yang berjudul Menilik Standar Kecantikan yang Lebih Humanis, memaparkan bahwa gebrakan baru standar kecantikan bahkan sudah ada sejak tahun 1996. Pada masa itu Revlon mulai menarik Halle Berry, selebritas berkulit hitam sebagai brand ambassador produk kecantikan mereka. 

Selanjutnya pada 1998, aktris Cina Valerie Chow dan model asal Latin, Daisy Fuentes, dipakai dalam label produk yang serupa. Hal ini kemudian memberi pandangan bahwa sejak saat itu, sebenarnya kecantikan dan keberagaman wanita sudah dikampanyekan secara meluas di luar negeri.

Begitu pula vice.com melalui artikelnya yang berjudul Mengapa Obsesi Menjadi Lebih Putih Makin Lama Makin Bahaya, menjelaskan bagaimana obsesi putih itu dibentuk oleh penduduk India -sekarang mulai memiliki oposisi yang digencarkan oleh Kavitha Emmanuel, inisiator Women of Worth- dengan melakukan kampanye The Dark is Beautiful pada tahun 2009. Kampanye tersebut juga didukung oleh seperti Nandita Das dan banyak selebritas India lainnya.

Paparan dari berbagai sumber di atas kemudian menjelaskan bagaimana obesi putih dalam arti merubah warna kulit ditentang dan dikampanyekan, bahkan melalui sumber terkuat masyarakat, yaitu melalui figur publik.

Berkaca dari sana, Indonesia sebenarnya mulai membangkitkan semangat cantik natural. Hal ini dibuktikan lewat kampanye #BanggaDenganWarnaKulitmu dari Clean and Clear Indonesia pada tahun 2017. Produk kecantikan tersebut juga mengusung kampanye #ForEveryFace pada 26 Januari 2018 lalu. Begitu pula dengan Dove, yang sekarang mulai terlihat memakai model beragam warna kulit untuk menginterpretasikan kecantikan wanita melaui iklan-iklan di televisi Indonesia.

Namun di sisi lain, dapat ditelaah kembali era kecantikan Indonesia sekarang. Tampaknya belum banyak terlihat selebritas Indonesia mengkampanyekan kecantikan kulit natural. Iklan-iklan yang ditampilkan televisi dengan menggaet selebritas Indonesia selalu diidentikkan secara halus dengan metafora putih cerah merona. Begitu pula dengan aktivitas endorse para selebritas Indonesia kerap kali selalu dikaitkan dengan bagaimana merubah warna kulit cerah dalam seminggu, sepuluh hari, atau sebulan untuk mendapatkan warna kulit putih yang didambakan.

Dari sana dapat membawa kita pada argumentasi, bahwa sebagian besar selebritas Indonesia sebagai figur publik masih mendukung konsepsi putih Indonesia dari zaman penjajahan. Artinya, belum ada gebrakan perubahan kultur terkait konsepsi putih secara signifikan yang terjadi di Indonesia era Modern.

Selain itu, kepercayaan untuk memakai pekerja wanita atau pria juga secara halus dikriteriakan melalui penampilan good looking yang diinterpretasi tak ubahnya harus memiliki tubuh yang ideal dan rupawan. Dalam arti spesifik, pekerja yang membutuhkan tampilan ideal dalam bekerja harus memenuhi kualifikasi rupawan terlebih dahulu, tak jauh dari arti memiliki kulit yang putih dan cerah. Dari sana memerlukan kajian budaya lebih lanjut, apakah hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab tingginya minat masyarakat Indonesia atas produk-produk pemutih kulit.

Bahkan Luh Ayu dalam bukunya mendeskripsikan apa yang melatarbelakanginya menganalisis putih Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah negara menarik dengan representasi kecantikan yang unik. Tidak seperti negara lain yang diklaim kepemilikan atas ras menurut warna putih dan hitam, Indonesia memiliki semua warna ras di dalamnya. Sehingga Indonesia bukanlah milik antara kedua warna ras tersebut, karena pada ruhnya Indonesia sudah terlahir karena keberagamannya.

Namun sayangnya, latar belakang Luh Ayu tersebut tampaknya juga belum sejalan dengan implementasi dari perspektif sebagian besar wanita Indonesia di era sekarang. Acap kali role model dan tren kecantikan selalu terlahir dari luar Indonesia melalui iklan-iklan kecantikan yang semakin menekankan obsesi untuk menjadi putih.

Sebenarnya, untuk mendestruksi nilai kecantikan berbingkai stigma putih di Indonesia dapat diwujudkan melalui dua arah, baik yang memiliki kuasa untuk memerintah maupun yang menjalankannya. Dalam hal ini adalah pemerintah dan masyarakatnya sendiri. Dua pihak ini seyogianya mampu saling bersinergi melawan stigma putih yang menular secara kultural karena lebih jauh memberikan dampak psikologis, terlebih kepada remaja-remaja wanita di Indonesia.

Dari segi kesehatan, sangat banyak pakar ahli kulit dan kecantikan menyayangkan obsesi kulit putih tersebut. Salah satunya dari berita Kompas.com yang berjudul Memutihkan Kulit, Seberapa Aman? yang turut menjelaskan dari perspektif salah satu dokter kecantikan, Rachel Djuanda yang menyatakan bahwa memutihkan kulit apalagi secara instan dapat membahayakan kulit dan membuat kulit semakin tidak sehat.

Akibat dari pemakaiannya bisa menghambat pembentukan pigmen kulit jika terus-menerus dilakukan. Selain itu, akibat yang ditimbulkan dapat menjurus ke arah risiko kanker kulit yang lebih tinggi, mengingat Indonesia termasuk daerah beriklim tropis. Oleh karena itu, isu putih dipandang dari berbagai perspektif sebenarnya memiliki peran kuat untuk menilik seberapa besar peran kultur mampu mengorbankan risiko kesehatan fisik dan mental atas stigma yang sudah terlanjur dibangun dari zaman ke zaman.

Badan Audit Kemahasiswaan Ditolak Menjadi Lembaga Khusus

Himmah Online, Kampus Terpadu – Pimpinan Sidang Umum Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) XXXIX menetapkan menolak usulan Badan Audit Kemahasiswaan (BAK) menjadi Lembaga Khusus (LK) pada Minggu, 28 Oktober 2018. Ketetapan tersebut berdasarkan pertimbangan legislatif terpilih Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII) selaku peserta dan para peninjau yang hadir di SU.

Pengangkatan BAK menjadi LK diusulkan dalam agenda SU oleh DPM UII periode 2017/2018 melalui Komisi Pelaksana Sidang Umum (KPSU). Sebelumnya, DPM UII periode 2017/2018 melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan seluruh LK tingkat universitas untuk membahas pengangkatan BAK menjadi LK pada 16 Oktober 2018.

RDP tersebut dihadiri oleh seluruh LK tingkat universitas, yaitu Marching Band (MB), Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unisi, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah, dan Koperasi Mahasiswa (Kopma) UII. Seluruh LK sepakat menolak usulan BAK yang akan diangkat menjadi LK dan mengusulkan posisi BAK di bawah rektorat.

Pembentukan LK ini diatur dalam Peraturan Dasar Keluarga Mahasiswa (PDKM) UII yang tertera pada pasal 41 ayat 2 dan 4. Pada pasal 41 ayat 2 dikatakan bahwa pembentukan Lembaga Khusus baru di tingkat universitas harus mendapat izin Dewan Permusyawaratan Mahasiswa dengan pertimbangan Lembaga Khusus tingkat universitas.

Kemudian pada pasal 41 ayat 4 menyatakan bahwa pembentukan Lembaga Khusus baru di tingkat universitas dan/atau fakultas akan ditentukan dalam Sidang Umum Keluarga Mahasiswa UII. Merujuk pasal 41 ayat 2 dan 4 pada PDKM UII, maka pengusulan BAK ini dijadikan agenda dalam SU KM UII XXXIX.

Risang selaku Sekretaris Jendral DPM UII demisioner dalam forum SU mengatakan kurang menyetujui jika BAK secara struktural berada di bawah rektorat. “Kampus kita ini menganut sistem birokrasi mahasiswa (student government-red), jika BAK berada langsung di bawah rektorat berarti birokrasi mahasiswa kita juga perlu dipertanyakan,” ujarnya.

Febrina Tri Anjelina, legislatif terpilih Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi (DPM FE) mengatakan jika yang dicari hanya independensi dari lembaga tersebut tetap tidak menutup kemungkinan dapat diintervensi oleh DPM UII. “Yang harusnya independen adalah personal dari anggota BAK itu sendiri. Jadi untuk apa BAK ada jika hanya sebatas mencari independensi ketika menjadi LK,” ucap Febrina.

“Solusi untuk saat ini yang paling tepat adalah tetap menempatkan BAK di bawah naungan Komisi III DPM UII. Dan akhirnya kami selaku DPM UII terpilih masa jabatan 2018/2019 menempatkan BAK tetap berada di bawah Komisi III DPM UII,” Ujar Taufan selaku legislatif terpilih DPM UII setelah melakukan lobi dengan legislatif terpilih lainnya.

Terbentuknya Badan Audit Kemahasiswaan (BAK)

Muhammad Tawwaba selaku ketua BAK mengatakan bahwa BAK terbentuk pada pertengahan periode DPM UII 2017/2018. Pembentukan ini diinisiasi langsung oleh Komisi III DPM UII dan atas seizin jajaran DPM yang lain.

Menurut Aba, Ketua Komisi III DPM UII saat itu memiliki keresahan akan terjadinya penggelapan dana yang dilakukan oleh pihak DPM itu sendiri, misalnya DPM UII periode 2016/2017. Pembentukan BAK bertujuan agar keuangan di KM UII lebih tertata.

“Ranah kerja BAK yaitu untuk mengaudit keuangan di seluruh KM UII dan hanya bekerja di akhir periode ketika semua laporan  kegiatan yang sudah ada selama satu periode itu terkumpul,” ucap Gandys, ketua Komisi III DPM periode 2017/2018 saat dihubungi melalui Line.

Saat ini, BAK memiliki empat auditor yang dipilih dari mahasiswa jurusan akuntansi. Meskipun belum memiliki pembimbing resmi, BAK sering berkonsultasi dengan Arif Fajar selaku pengampu mata kuliah audit di FE UII, dalam proses pengauditan keuangan lembaga yang ada di UII.  

“AD/ART sudah dibuat oleh BAK bersamaan dengan proses pengauditan laporan keuangan DPM UII 2016/2017,” ucap Aba yang sebelumnya mempersiapkan jika BAK disahkan menjadi LK.

Reporter : Riska Fajri Salsabilla, Jalaludin Al-ayubi, Janneta Filza A., Nalendra Ezra

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Generasi ke-17 Empu Majapahit

0
Proses Penempahan. Foto oleh: Hilmi Fahrul
Penghalusan. Foto oleh: Anggah
Deder Berukiran Putri Kinurung. Foto oleh: Anggah
Seni Tempa Pamor. Foto oleh: Anggah
Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo. Foto oleh: Anggah
Tahapan Pembuatan. Foto oleh: Dhia Ananta
Mengusap Mata. Foto oleh: Dhia Ananta
Merapikan Bara Api. Foto oleh: Anggah
Baselan. Foto oleh: Anggah

Pria berusia 63 tahun ini merupakan generasi ke 17 dari Empu Supadriyo, pengrajin keris dari kerjaan majapahit pada abad ke 14. Ia dikenal dengan nama Empu Sungkowo Harumbrodjo, putra dari Djeno Harumbrodjo yang telah dikenal sebagai salah satu pengrajin keris ternama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu keris karya Djeno Harumbrodjo dimiliki oleh Sultan Hemengkubuwono IX.

Empu Sungkowo Harumbrodjo mulai menekuni keris sejak tahun 1995. Saat itu, ia meneruskan ayahnya yang sudah berusia lanjut. “Awalnya saya bantu orang tua mas, sekitar tahun 1995 karena orang tua sudah tidak kuat dan berusia lanjut akhirnya saya yang meneruskan,“ ucap Empu Sungkowo saat diwawancari.

Proses pembuatan keris sendiri melalui beberapa tahapan. Pertama, ritual berpuasa selama 3 hari. Puasa tersebut dilaksanakan pada waktu tertentu dimana hitunganya akan mewakili 40 hari sesuai penanggalan Jawa. Keris akan disesuaikan dengan hitungan hari lahir dan profesi pemesan.

Kedua, uborampe atau pada jaman dahulu disebut dengan sajen. Uborampe dilakukan untuk meminta restu tetangga kanan kiri agar pembuatan keris dapat selamat dan sesuai dengan yang diinginkan.

Setelah proses ritual dan uborampe maka selanjutnya ialah penempahan keris. Proses penempahan sendiri tidak boleh dilakukan sembarangan. Penempahan keris harus dengan penuh kedamaian hati dan ketenangan. Biasanya penempah keris tidak melakukan penempahan bila sedang ada hambatan dan suasana hati yang emosional. Pembuatan keris tidak boleh dipaksakan karena akan mempengaruhi hasil dari keris itu sendiri. Waktu proses pembuatan keris keseluruhan biasanya memakan waktu 30 sampai 40 hari.

Catatan: Artikel ini sudah terbit di KOBARKobari Edisi 188 Tahun ke-20

Mereka yang Berharap Diterima Kuliah di UII

Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Islam Indonesia (PMB UII) tahun 2018 dibuka sejak awal Desember 2017 sampai Awal Agustus 2018. Terdapat empat pola seleksi di PMB UII, yaitu Computer Based Test (CBT), Paper Based Test (PBT) Penelusuran Siswa Berprestasi (PSB), dan Penelusuran Hafiz Al-Quran (PHA).

Saat melaksanakan tes PMB UII, beberapa calon mahasiswa baru didampingi oleh keluarga, saudara, teman yang sudah diterima lebih dulu, kakak kelas, atau saudaranya masing-masing. Para pendamping yang mengantar tes menunggu dengan berdiri atau duduk di dalam maupun luar area PMB. Pada tahun ini, dari 29.967 calon mahasiswa yang mengikuti mendaftar dan mengikuti tes, hanya 5.639 mahasiswa yang diterima sebagai mahasiswa baru UII.

Zidny Ilman Nafi, mahasiswa baru 2018 yang diterima di jursan Pendidikan Agama Islam ini mengatakan alasannya masuk UII karena masih berkeinginan kuliah di Yogyakarta. Sebelumnya, mahasiswa baru asal Brebes ini mengatakan tidak lulus saat seleksi di universitas negri yang ada di Yogyakarta sehingga membuat UII menjadi pilihannya.