Beranda blog Halaman 52

28 Januari 1986: Pesawat Ulang Alik Challenger “Meledak”

0

Himmah Online – Setelah Columbia sukses menjadi pesawat ulang alik pertama yang mengangkasa dalam armada pengorbit tahun 1981, dua tahun berikutnya NASA (National Aeronautics and Space Administration) kembali meluncurkan pesawat ulang alik kedua bernama Challenger. Tepatnya pada 4 April 1983, pesawat ulang alik Challenger melakukan peluncuran perdana dalam misi STS-6.

Misi pertama Challenger merupakan peluncuran wahana antariksa pertama dari program pesawat ulang alik, serta untuk pertama kalinya pula melakukan peluncuran Tracking and Data Relay Satellite (TDRS-A).

Challenger melaksanakan misi-misi berikutnya dengan baik. Bahkan pada peluncurannya yang kedua pada18 Juni 1983, Challenger mencetak sejarah karena membawa astronot wanita Amerika pertama bernama Sally K. Ride dalam misi STS-7.

Pada peluncuran berikutnya, Challenger membawa tujuh orang awak dan kembali menjadi pesawat ulang alik pertama yang mencakup dua astronot wanita Amerika dalam misi STS-41G.

Saat peluncuran kesepuluhnya, Challenger serta kru pesawat kemudian diamanahi misi STS-51L yang mengudara pada 28 Januari 1986. Peluncuran tersebut sempat mengalami beberapa kali penundaan. Pesawat yang dijadwalkan akan lepas landas pada tanggal 22 Januari 1986 harus ditunda karena berbagai kendala. Kendala tersebut meliputi cuaca yang buruk, tidak dilengkapinya pendaratan malam, dan perlengkapan servis pada lubang palka pengorbit yang bermasalah.

Terdapat dua periode aktivitas utama yang harus dijalankan pada misi STS-51L. Pertama kru memeriksa kesiapan Tracking and Data Relay Satellite (TDRS-B) serta melepaskannya di angkasa. Agenda selanjutnya yaitu melakukan percobaan program pemantauan komet Halley yang diprediksikan akan melintasi bumi pada 9 Februari 1986, dua belas hari setelah peluncuran Challenger.

Namun pada peluncurannya kesepuluh itulah, Challenger membuat pilu ratusan pasang mata yang menyaksikan kejadian langsung dari lapangan penerbangan Kennedy Space Center di Florida. Challenger diselimuti gumpalan awan api 73 detik setelah lepas landas pada ketinggian sekitar 46.000 kaki.

Media dan petugas urusan publik NASA, Steve Nesbitt kemudian mengumumkan bahwa dugaan awal Challenger mengalami ledakan. Tetapi setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, pada kenyataannya Challenger tidak mengalami ledakan secara langsung.

Valerie Neal, selaku kurator pesawat ulang alik National Air and Space Museum di Washington D.C. mengungkapkan bahwa pesawat ulang alik itu sendiri tidak meledak. Ia menjelaskan bahwa tangki bahan bakar luar pesawat ulang alik Challenger mengalami kerusakan.

Suhu yang teramat dingin menyebabkan dua karet cincin-o yang menyegel sambungan antara dua segmen roket pendorong ulang alik mengalami keruntuhan struktural dan terlepas. Hal ini menyebabkan kebocoran dan melepaskan semua hidrogen cair serta propelan oksigen di roket pendorong sebelah kanan. Gas panas tersebut kemudian mengalir melalui kebocoran bersamaan dengan reaksi kimia, dan terjadilah ledakan besar.

Pada saat kejadian ledakan, hanya roket pendorong yang mengalami kehancuran. Kru Challenger sebenarnya tidak meninggal seketika pada saat ledakan besar terjadi. Ketujuh kru yang terdiri dari Michael J. Smith (pilot), Francis R. Scobee (komandan), Judith A. Resnik, Ellison S. Onizuka, dan Ronald E. McNair (spesialis misi), serta warga sipil yang menumpang, Christa McAuliffe dan Gregory B. Jarvis sempat bertahan beberapa detik mengudara. Hingga akhirnya pesawat mengalami kekurangan tekanan dan jatuh dari ketinggian 65.000 kaki ke Samudera Atlantik.

Reporter: Ika Rahmanita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Roma: Film Alfonso Cuarón untuk Pembantunya

Kotoran anjing di lorong rumah itu selalu ada lagi dan lagi walaupun sudah dibersihkan. Pelakunya adalah anjing yang menggemaskan sekaligus nakal bernama Borass. Cleo (Yalitza Aparicio) yang selalu setia membersihkan kotorannya ─dan memang itu tugasnya sebagai pembantu rumah tangga. Setelah selesai dengan urusan kotoran anjing, seabrek urusan lain sudah antre menunggu, mulai dari membersihkan kamar empat anak pasangan suami istri majikannya, sampai mencuci pakaian di atap rumah.

Satu pekerjaann dengan pekerjaan lain berantai tanpa putus. Termasuk membangunkan anak-anak bernama Sofi, Paco, Tono dan Pepe (Daniela Demesa, Carlos Peralta, Diego Cortina autrey dan Marco Graf) sampai menidurkannya lagi. Cleo bak anggota keluarga saking akrabnya dengan anak-anak. Cleo berasal dari desa di negara bagian selatan Oaxaca. Dia wanita pribumi yang bekerja untuk majikan kulit putih yang kaya. Sesekali dia juga dimarahi oleh majikannya, Sofia (Marina De Tavira), dalam hal remeh-remeh misal kotoran anjing yang membuat suaminya, Antonio (Fernando Grediaga), tidak nyaman. Semacam rantai eksploitasi.

Cerita dalam film “Roma”, pemenang film terbaik dalam Venice Film Festival dan nominasi Golden Globe kategori film berbahasa asing ini sangat realis. Ceritanya sederhana, tidak ada misteri yang harus dipecahkan, atau kejahatan yang harus ditumpas. Adegan-adegan yang ada murni keseharian banyak orang, realistis. Namun, menurut saya justru di situ kelebihannya. Penonton lebih mudah masuk dalam suasana film karena akrab dengan adegan per adegan.

Permasalahan hidup Cleo dan Sofia pun wajar terjadi dan tidak berlebihan. Cleo yang berpacaran dengan pria miskin dan penggemar bela diri bernama Fermin (Jorge Antonio Guerrero), merasa bahwa dia hamil. Di dalam bioskop mereka berciuman. Jeda antara ciuman, Cleo memberi tahu Fermin bahwa dia hamil. “Itu bagus bukan?” kata Fermin. Mereka melanjutkan ciumannya sampai Fermin izin ke toilet untuk beberapa saat. Sebelum ke toilet, Fermin menawarkan es krim ke Cleo. Namun Cleo menolak. Fermin pergi, dan tidak kembali lagi.

Cleo bercerita kepada Sofia bahwa dia hamil dan pacarnya tidak mau bertanggungjawab. Sofia menenangkan dan membawa Cleo memeriksakan kandungannya ke rumah sakit. Sempat sekali dia mencari Fermin di tempat berlatih bela diri. Bukan tanggungjawab, namun bentakan dan ancaman dipukul yang dia dapatkan. “Jangan pernah menemuiku lagi,” kata Fermin sembari berlari mengejar truk untuk pulang.

Suasana di rumah juga hampir mirip. Antonio harus pergi beberapa minggu untuk urusan kantor. Sofia mengantar kepergian Antonio bersama dengan anaknya. Janji pergi yang hanya beberapa minggu menjadi berbulan-bulan. Tanpa kabar dan kiriman uang. Sofia selalu memberi alasan kepada anaknya bahwa ada urusan yang tertunda yang harus dikerjakan ayahnya. “Ibu sudah membeli kertas, silahkan tulis surat untuk ayah,” kata Sofia. Tidak ada tugas kantor, Antonio pergi bersama wanita lain.

“Kita sendirian. Apapun yang mereka katakan, kita sendirian,” kata Sofia suatu malam kepada Cleo.

Film yang mengambil latar Meksiko tahun 1970 ini beberapa kali memperlihatkan meja makan sebagai ruang diskusi keluarga. Mulai dari perdebatan khas anak kecil tentang film atau mainan, sampai memberi tahu bahwa si Ayah tidak akan kembali lagi ke rumah.

Film “Roma” kali ini dibuat Alfonso Cuarón berbeda dengan film sebelumnya, “Gravity” dan “The Children Men”. Cuarón membuat film ini dengan nuansa hitam putih. Teknik yang membuat suasana sendu dan emosional semakin mendalam. Detail visual memuat informasi sebagai pendukung cerita. Kamera senantiasa bergerak mengikuti gerak pemain, membuat kita bisa melihat permasalahan dari sudut pandang pemain sekaligus dari luar. Cuarón menggunakan keintiman dan monumentalitas untuk mengekspresikan kedalaman kehidupan biasa.

“Roma” adalah film otobiografi ─ini tidak dijelaskan secara eksplisit, Cuaron saat kecil. Dalam reviewnya, The New York Time menuliskan bahwa urutan dalam film ini merupakan hal memukau yang menakutkan secara visual dan secara emosional luar biasa. Dalam adegan tenggelam di laut, memunculkan perasaan besar hati dan pantang menyerah seorang makhluk dengan alam semesta yang cocok sebagai klimaks perjalanan keluarga.

Anda akan merasakan kehadiran Cuarón dan Cleo dalam adegan itu yang dengan tegas mendorong gelombang yang mengancam, gambaran yang dia ambil dari masa lalu dan dihidupkan kembali dalam ingatan. “Roma” didedikasikan untuk Liboria Rodríguez (“untuk Libo”) wanita yang membesarkannya di sebuah rumah seperti yang ada di film ini. Ada beberapa adegan dalam film ini yang memperlihatkan jet melintas di atas, sebuah visi yang mengarah ke kejauhan, masa depan yang bergerak, menunjukkan bahwa Cuarón tidak pernah meninggalkan tempat ini, para wanita, dan cintanya.

Sutrada kenamaan Indonesia, Joko Anwar, dalam akun instagramnya menuliskan bahwa film ini mengingatkan alasannya menyukai film dan bekerja untuk itu. Roma sangat jujur, terbaik dalam model bercerita, dewasa dan penuh dengan rasa. Setiap adegan menyenangkan. “This is cinema heaven.” 

Editor: Hana Maulina Salsabila

Akhir Pelayaran Tampomas II di Laut Masalembo

Selasa, 27 Januari 1981 menjadi hari yang kelam nan tragis bagi dunia pelayaran Indonesia. Kapal Motor Penumpang (KMP) Tampomas II yang kala itu tengah berlayar dari dermaga Tanjung Priok, Jakarta menuju Ujung Pandang, Makassar, harus mengakhiri pelayarannya di Perairan Masalembo.

Sebanyak 1442 penumpang terombang-ambing selama kurang lebih 30 jam di dalam kapal, termasuk 300 penumpang gelap dalam kapal. Duka menyelimuti seluruh awak kapal, penumpang, dan juga keluarga korban, termasuk di dalamnya kapten kapal, Abdul Rivai.

KMP Tampomas II merupakan kapal bekas yang dibeli PT. Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN) pada tahun 1980 dari Komodo Marine Jepang. Dalam perjalanannya KMP Tampomas terus menerus melakukan pelayaran dari Jakarta menuju Ujung Pandang yang merupakan rute padat. Setiap selesai pelayaran, kabarnya kapal hanya diberi waktu jeda istirahat empat jam saja, kemudian di pakai kembali untuk pelayaran selanjutnya. Perawatan dan maintenance hanya dilakukan ala kadarnya, padahal usia kapal tersebut termasuk sudah uzur, seharusnya dilakukan perawatan yang menyeluruh dan cermat.

Peristiwa ini bermula dari kerusakan salah satu mesin kapal. Sebelumnya, Kerusakan mesin kapal sudah diketahui oleh awak teknisi kapal, namun kerusakan tersebut tidak dihiraukan.

Sabtu, 24 Januari 1981, kapal bertolak dari dermaga Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sesampainya di tengah Laut Jawa, malapetaka pun terjadi. Seorang awak teknisi kapal melihat percikan api dari mesin kapal yang kemudian dengan cepat menjalar ke dek bawah kapal. Awak teknisi kapal berusaha memadamkan api namun karena api sudah terlanjur membesar akhirnya awak kapal hanya menyemprotkan alat pemadam tersebut sekenanya. Lalu, Kapten Abdul Rivai memerintahkan untuk mematikan mesin kapal untuk menghindari api yang menjalar ke mesin-mesin kapal.

Akhirnya 30 jam setelah percikan pertama, terjadi ledakan besar pada 27 Januari 1981 yang mengakibatkan kapal miring hingga 45 derajat seperti yang dikutip dari Kumparan berjudul “37 Tahun Sudah, KMP Tampomas II Beristirahat di Dasar Laut Jawa”KMP Tampomas tenggelam pada pukul 12.45 WITA di Perairan Masalembo. Berdasarkan laporan tim penyelamat, total korban sebanyak 431 orang, 143 mayat ditemukan, termasuk didalamnya kapten Abdul Rivai. 753 nyawa berhasil diselamatkan dan sebanyak 288 orang yang berada di dek bawah kapal dinyatakan hilang.

Hingga saat ini belum ada keterangan jelas mengenai musibah tersebut. Liputan6 dalam berita yang berjudul “Kisah Tampomas II, Terbakar lalu Tenggelam, 431 Nyawa Melayang”, menjelaskan menurut Roesmin Nurjadin, Menteri Perhubungan dalam penjelasannya dalam pers di kantor Departemen Perhubungan, mengatakan tidak terjadi keanehan ataupun kerusakan pada ruang mesin. Kelainan terjadi pada geladak kendaraan, karena guncangan gelombang laut mengakibatkan percikan api kemudian api cepat menyebar. Namun dari keterangan tersebut masih menjadi kontroversi.

Para pejabat yang menangani kasus kecelakaan ini menyalahkan seluruh awak kapal dan berkesimpulan bahwa kecelakaan tersebut murni akibat human error. Hasil penyidikan Kejaksaan Agung yang menugaskan Bob Rusli Efendi Nasution sebagai kepala tim perkara pun tidak ada tuntutan kepada pejabat yang saat itu memerintah. Pemerintah pusat terkesan menutup-nutupi kasus ini seperti yang dikutip dalam laman kompasiana.com.

Editor: Hana Maulina Salsabila

Estafet Kekuasaan Uni Soviet: Dari Lenin ke Stalin

0

Himmah Online – Pada 7 November 1917, Revolusi Bolshevik meletus sebagai akibat dari feodalisme. Sistem penghambaan berabad-abad dan ketertinggalan Imperium Rusia terhadap kemajuan industri menjadi cikal bakal berdirinya Uni Soviet. Berakhirnya Imperium Rusia saat itu ditandai dengan tereksekusinya Tsar Nicholas II beserta keluarga kerajaan.

Sebelumnya pada bulan Februari 1917, terjadi protes dan pemogokan besar-besaran di Petrograd, atau yang sekarang dikenal dengan St. Petersburgh. Kerusuhan tersebut berlangsung menuntut kebijakan progresif berupa kebebasan pers, hak bersertifikat, dan hak pilih perempuan. Sehingga kekuasaan kemudian beralih kepada Pemerintahan Provisional sementara yang diambil alih oleh Vladimir Ilyich Lenin, pemimpin Partai Bolshevik. Lenin tak lain merupakan adik dari Alexander Ulyanov, yang pernah dijatuhi hukuman mati oleh pemerintahan Tsar.

Lenin beserta kameradnya kemudian mendeklarasikan Dekrit Bolshevik pada 8 November 1917. Isi dekrit tersebut mengusung penghapusan hak milik pribadi alat-alat produksi, redistribusi lahan ke petani, delapan jam kerja, upah minimum, dan penarikan mundur Rusia dari Perang Dunia I dengan Traktat Brest-Litovsk. Lenin selanjutnya menjabat sebagai ketua Republik Sosialis Federasi Soviet (RSFS), lalu menjadi Perdana Menteri Uni Soviet pada 1922.

Dua tahun sebelum kematiannya, Lenin yang sakit-sakitan digantikan losif Vissarionovich Stalin. Stalin merupakan pemimpin di Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), yaitu partai kelanjutan Partai Bolshevik. Stalin memperoleh suara terbanyak di PKUS kemudian mendeklarasikan dekrit kebangsaan. Dekrit tersebut berisi tentang hak-hak kaum minoritas yang ingin disamakan dengan mayoritas di Uni Soviet.

Pergantian kepemimpinan tersebut sebenarnya membuat Lenin sendiri sadar akan kekuasaan Stalin yang mengancam perpecahan partai dan negara. Terutama konflik Stalin dan Trotsky yang merupakan anggota berpengaruh di komite pusat. Enam orang yang paling berpengaruh di komite pusat saat itu adalah Joseph Stalin, Leon Trotsky, Grigory Y. Zinovyev, Lev B. Kamenev, Nikolay Bukharin, dan Georgy Pyatakov.

Trotsky yang berkonflik dengan Stalin merupakan tokoh pendiri Tentara Merah. Ia sering mengkritisi Stalin karena penglihatannya atas tendensi Stalin untuk menjadi pemimpin diktator dalam bukunya The Revolution Betrayed.

Hal tersebut memaksan Lenin untuk mengeluarkan usulan yang dikenal dengan Lenin’s Testament. Usulan tersebut berisi penambahan komite pusat dari 50 menjadi 100 kursi, dengan harapan dapat menyeimbangkan partai. Bahkan dalam usulan tersebut Lenin ikut merekomendasikan pencopotan Stalin. 

Lenin lalu meninggal pada 21 Januari 1924 akibat penyakit stroke. Walaupun terdapat pertentangan oleh seorang penulis dan sejarawan, Hellen Rappaport yang menyatakan bahwa penyebab kematian Lenin adalah endartitis luetica-neurosyphilis, penyakit sipilis yang menyerang otak. Setelah kematiannya, Krupskaya, istrinya Lenin kemudian mentransmiskan Lenin’s Testament sesuai wasiat yang disampaikan oleh suaminya.

Namun, Stalin yang tetap memimpin saat itu mengusung Kebijakan Sosialisme Satu Negara yang menggantikan Kebijakan Ekonomi Baru. Kebijakan tersebut memberikan wajah Uni Soviet sebagai negara dengan sistem ekonomi terpusat.

Stalin juga memberlakukan kamp pekerja Gulag yang mengambil jutaan nyawa orang dengan kerja paksa. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan untuk menyaingi industrialisasi barat. Tak hanya itu saja, pada tahun 1934 hingga 1940, Stalin menghabisi oposisi-oposisinya, termasuk Trotsky. Ia kemudian ditemukan tewas di Meksiko dengan kapak es di kepalanya.

Stalin kemudian dikenal sebagai sosok Uni Soviet yang paling berpengaruh dengan kemampuannya yang teruji mengusir Nazi di Perang Dunia II, serta kemampuan Soviet dalam bersaing di Perang Dingin. Selain itu, kebijakan Stalin dalam menjadikan tingkat pendidikan dan literasi Uni Soviet yang tinggi membuatnya menjadi negara adidaya dan pusat ideologi kiri dunia.

Reporter: Dhia Ananta

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

21 Januari 1793: Kisah Kelam Raja Louis XVI dan Kemenangan Revolusi Perancis

Kemenangan rakyat Perancis dalam mencapai revolusi akhirnya sampai juga pada pemenggalan kepala Raja Louis XVI

Himmah OnlineRevolusi sosial mulai terjadi pada abad ke-18 di hampir seluruh daratan Eropa. Salah satunya kemenangan rakyat Perancis. Perancis mempunyai catatan sejarah revolusi yang gemilang, sehingga menjadi rujukan di negara-negara lainnya.

Eye Witness to History yang berjudul The Excecution of Louis XVI, 1793 mencatat bahwa salah satu tanda kemenangan rakyat Perancis adalah pembunuhan Raja Louis XVI dan perubahan bentuk negara monarki menjadi republik.

Pada saat itu diceritakan Raja Louis XVI beserta istrinya, Marie Antoinette, ditangkap pada 10 Agustus 1792 ketika mereka berusaha untuk kabur. Louis XVI dan Antoinette dijebloskan ke dalam Penjara Tample—benteng kuno yang digunakan untuk penjara—selama satu tahun.

Pada 20 Januari 1793, Raja Louis XVI dinyatakan bersalah dengan dalih pengkhianatan. Ia dijatuhi hukuman mati pada esok harinya oleh Konvensi Nasional Perancis—majelis rakyat di Perancis yang bertugas menghakimi pada zaman revolusi.

Pada 21 Januari 1793, sekitar 1200 bala tentara berkuda membawa Louis XVI ke Place de la Revolution di Paris. Pukul 08.00, dihadapan rakyat Perancis, mantan raja yang tak berdaya itu berbaring di bawah guillotine dan akhirnya kepalanya terputus.

Penggalan kepala itu di ambil dan diperlihatkan ke rakyat Perancis. Seluruh rakyat Perancis yang berkumpul di sana bersorak,“Vive la nation! Vive la republique!” atau yang artinya “Hidup bangsa! Hidup republik!”

Buku yang berjudul Holy Blood, Holy Grail, kumpulan tulisan dari Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln meceritakan bahwa seorang pria mencelupkan sapu tangannya ke darah Louis XVI yang menggenang dan ia berkata, “Jacques de Molay, dendammu telah terbalaskan.”

Jacques de Molay adalah seorang ksatria yang mengutuk Raja Philip IV, nenek moyang Louis XVI. Dulunya, Raja Philip IV pernah mengutus untuk mengeksekusi kelompok Jacques dengan cara dibakar pada 13 Oktober 1307 atas dasar fitnah.

Menurut The Telegraph yang berjudul Louis XVI Blood Mystery ‘solved’ menulis bahwa pria yang mencelupkan sapu tangannya ke dalam genangan darah Louis XVI bernama Maximilien Bourdalue.

Inflasi dan Bergabungnya Versailles dalam Aliansi

Akibat hutang turunan dari kakeknya, Raja Louis XV, perekonomian Perancis mengalami inflansi yang tak berkesudahan. Historiek dengan judul Koning Lodewijk XVI wordt in Parijs onthoofd (1793), mencatat bahwa pemecatan yang dilakukan oleh Louis XVI pada tahun 1776 didorong oleh istrinya, Antoinette. Antoinette memaksa Louis XVI melakukan pemecatan menteri ekonomi pada saat itu, karena dianggap gagal mengurangi beban hutang nasional.

Jacques Necker diangkat untuk menggantikan posisi menteri ekonomi sebelumnya. Namun, nahas, ia gagal untuk mengendalikan keuangan kerajaan, sehingga hutang nasional semakin mencekik. Pada tahun 1789, Jacques mengajukan pengunduran diri dari kursi jabatannya.

Selain itu, Harian Sejarah yang berjudul Hukuman Mati Bagi Louis XVI dari Perancis menceritakan bahwa Vergennes, Sekretaris Luar Negeri Kerajaan Versailles mempetakan adanya kesempatan untuk mempermalukan musuh bebuyutannya yaitu Inggris, dengan cara mendukung Revolusi Amerika pada tahun 1776.

Vergennes berkeyakinan bahwa pemimpin Revolusi Amerika, yaitu Benjamin Franklin akan memberikan bantuan berupa sejumlah uang dan alat perang. Atas saran yang diajukan Vergennes, Louis XVI menerima dan menandatangani perjanjian formal aliansi pada tahun 1778.

Selain beraliansi untuk mengalahkan Inggris, Amerika dan Perancis juga bersepakat untuk meningatkan mutu perdagangan. Saat itu juga, Rochambeau, Lafayette dan de Grasse dikirim ke Amerika untuk membantu mengusir Inggris yang berusaha menduduki Amerika.

Pembacaan Vergennes memang tepat, Inggris berhasil dipukul mundur dari tanah Amerika saat Pertempuran Yorktown pada tahun 1781. Namun, kemenangan ekonomi Perancis yang dicita-citakan oleh Vergennes tidak berhasil. Alhasil, Perancis mengalami inflansi hingga 50 persen karena besarnya dana perang yang mengakibatkan pemecatan dan kelaparan hampir di seluruh pelosok kerajaan.

Karena keadaan ekonomi yang tak kunjung membaik, pada tahun 1789, Louis XVI membuat sebuah States General—sekelas Dewan Permusyawaratan Rakyat—dan Majelis Nasional yang mewakili golongan borjuis, pendeta, dan proletar sebagai upaya terakhir. Tetapi upaya itu tetap saja gagal.

Hadirnya Revolusi Perancis

Setelah hutang turunan dan modal perang yang besar, perekonomian Perancis semakin terpuruk. Harian Sejarah yang berjudul Raja Louis XVI dari Perancis mencatat bahwa jika kebencian terhadap pemimpin yang zalim itu telah ada, dari sinilah percikan api Revolusi Perancis itu mulai terjadi.

Sikap apatis keluarga kerajaan cukup membuat rakyat geram. Ketika Perancis dilanda inflasi yang terus meningkat, keluarga kerajaan hidup nyaman dan makan kenyang, sedangkan rakyat bertahan hidup dengan penyakitan.

Historiek yang berjudul Koning Lodewijk XVI wordt in Parijs onthoofd (1793) menceritakan bahwa pada 14 Juli 1789, kaum borjuis geram dengan pengunduran diri Jacques. Kaum borjuis dan proletar yang mengatasnamakan diri sebagai revolusioner melakukan protes. Protes tersebut menjadi tonggak awal revolusi Perancis dalam penyerbuan Penjara Bastille.

Pada 5 Oktober 1789, revolusioner bersepakat untuk mengepung Versailles. Malamnya, salah satu dari kaum revolusioner menyusup ke dalam kerajaan untuk membunuh Antoinette. Tindakan itu sebagai simbol penghapusan pemimpin tak patut hidup nyaman di atas penderitaan rakyat. Tetapi, usaha pembunuhan ratu itu berakhir gagal.

Majelis Nasional Perancis memutuskan untuk mengganti bentuk negara monarki menjadi republik pada 21 September 1791. Dalam bukunya yang berjudul Pemberontak, Albert Camus berkomentar bahwa kaum revolusioner membangun negara republik di atas pembunuhan Raja Louis XVI.

Pembunuhan tersebut bukan tanpa sebab. Sepanjang perjalanan Kerajaan Versailles, raja selama ini berwenang melakukan apa saja dan menyebut dirinya adalah tuhan. Agama melulu menjadi alasan ketika sebuah kebijakan berat sebelah dan atas keresahan itulah, rakyat Perancis memenggal kepala tuhannya.

Monarki mendukung konsep ketuhanan yang menghalalkan berbagai hukum tumbuh subur di atas bumi Perancis. Bagi Camus, konsep republik ini dapat berdiri sendiri dan moralitas tetap dapat eksis tanpa hadirnya raja sebagai tuhan. 

Pada tanggal 15 Januari 1793, terbentuklah Konvensi Nasional Perancis, yaitu pengganti Majelis Nasional yang terdiri dari 721 perwakilan. Konvensi Nasional Perancis memutuskan sebanyak 693 orang bersalah, termasuk Louis XVI dan istrinya, dengan dakwaan pengkhianatan dan dijatuhi hukuman mati. Selain itu, negara mengambil hak atas tanah maupun gelar penghormatan yang disandang oleh terdakwa.

Reporter: Azhar Muhammad Hasan

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Kulineran Bareng Aruna dan Lidahnya

Judul Film : Aruna dan Lidahnya

Sutradara : Edwin

Pemain      : Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Hannah Al Rashid, Oka Antara

Produksi    : Palari Films

Durasi        : 106 menit

Sop buntut itu masih berada di dalam wajan yang diletakkan di atas kompor yang menyala. Kaldu dari tulang dan daging ekor sapi naik ke permukaan kuah. Lemak menari bersama mendidihnya kuah. Setelah terpotong menjadi beberapa bagian, tomat dimasukan ke dalam sop buntut. Adegan awal itu bak sihir yang membuat penonton seketika merasa lapar. Terlebih saat Aruna (Dian Sastrowardoyo) memperlihatkan daging yang lunak, bisa dipisahkan dari tulang dengan mudah. “Cara memasak yang benar bisa membuat daging tidak susah dilepaskan dari tulang.” Begitu kira-kira kata Aruna.

Menurut Aruna, untuk menikmati sop buntut atau makanan enak lainnya, tidak harus menunggu dengan siapa kita menikmatinya. Kalau sendiri saja nikmat, kenapa harus menunggu orang yang spesial untuk menemani makan? Kalimat yang akan dia ralat di akhir film.

Anda harus menempuh perjuangan berat sepanjang 106 menit menahan lapar. Saya jamin, penampakan setidaknya 21 jenis makanan dan minuman, diantaranya sop buntut, nasi goreng, soto lamongan, rawon, rujak soto, campor lorjuk, choi pan, bakmi kepiting, pengkang dan sambal kepah, kari udang India, nasi campur, dan kacang kowa akan membuat anda gelisah di bangku tempat anda menonton film ini.

Perjalanan kuliner dimulai bersamaan dengan virus yang biasa disebut flu burung sedang menyeruak. Sebagai salah satu karyawan lembaga yang bekerja sama dengan pemerintah, Aruna mendapat tugas untuk investigasi di lapangan. Surabaya, Madura, Pontianak dan Singkawang. Ini menjadi kesempatan untuk Aruna dan sahabatnya, Bono (Nicholas Saputra) seorang koki, yang memang sudah merencakan untuk wisata kuliner. Bono mengajak juga orang yang dia suka bernama Nad (Hannah Al Rashid) untuk bergabung.

Di luar dugaan, saat berada di Surabaya, Aruna bertemu dengan Faris (Oka Antara), dokter hewan, yang merupakan mantan rekan kantornya dan orang yang dahulu dia sukai. Faris saat itu merupakan perwakilan dari lembaga pemerintah. Aruna dan Faris bertugas mencocokan data yang didapat dari pemerintah dengan keadaan di lapangan. Investigasi ini sebagai acuan pemerintah dalam mengambill kebijakan penanganan flu burung. Tentunya juga acuan penyusunan anggaran dalam menangani wabah virus flu burung. Tidak ditemukan penderita flu burung di lapangan. Aruna dan Faris mulai curiga bahwa ada sesuatu yang sedang direkayasa.

Apabila anda berekspektasi seperti saya, bahwa akan tersaji filosofi tentang bumbu, cara pengolahan dan cerita tentang masakan daerah, maka sebaiknya anda urungkan. Anda cukup menikmati saja filmnya, tidak usah berpikir terlampau berat. Sangat sayang memang melewatkan berbagai makanan luar biasa tanpa tahu ada apa di baliknya? Ini menjadi penting karena peran film dalam menjaga ─atau setidaknya menginformasikan─ makanan daerah beserta budayanya menjadi medium yang ampuh. Masyarakat akan lebih mencintai dan melestarikan makanan daerah dengan cara penyampaian informasi yang menyenangkan, dibandingkan dengan ceramah “ini itu” tentang pentingnya “ini itu” dari orang lain secara verbal.

Tentunya, Edwin sebagai sutradara film ini memiliki tujuan tertentu. Dari pesan yang saya lihat, dia ingin lebih menonjolkan makanan sebagai salah satu sarana orang saling bertemu, berkumpulnya manusia dari berbagai latar belakang, berinteraksi dan menghasilkan kenangan. Contohnya dalam adegan bapak tua yang sedang sakit. Dia selalu mengingat masakan istrinya yang sudah meninggal. Lelaki tua itu menceritakan dengan detail proses pembuatan sampai aroma saat matang. Dia mengatakan bahwa ada makanan yang tidak bisa pindah tangan.

Ada juga pesan bahwa makanan sebagai representasi perasaan. Makanan yang sama akan berbeda rasanya saat kita sedih atau senang. Dengan siapa kita makan juga mempengaruhi rasa makanan, bersama orang yang kita sukai atau benci. Saat memakan rujak soto misalnya. Aruna merepresentasikan makanan sebagai simbol hubungan. Apabila rujak dan soto digabungkan, akan ada salah satu rasa yang kalah. Begitupun dengan hubungan lelaki perempuan. Apabila dua hal yang tidak cocok dan saling dominan, akan ada salah satu yang kalah. Hubungan tidak akan berjalan baik.

Film ini terkesan sederhana. Namun apabila kita memperhatikan percakapan dan narasi dalam film, akan banyak kalimat-kalimat yang bermakna. Misalnya saat Bono berkata bahwa dalam satu piring makanan itu seperti kehidupan. Ada bagian yang sepahit-pahitnya, dan bagian yang semanis-manisnya, kalau kita manikmatinya terpisah. Begitupun dengan cara pengambilan gambar, khususnya pada makanan. Akan berbeda penyajian dari vlog-vlog tentang kuliner yang sering anda tonton di Youtube. Terlihat sederhana memang, tapi saya sepakat justru hal yang sederhana biasanya tercipta dari proses yang rumit.

Anda sudah membaca buku dari Laksmi Pamundjak yang merupakan adaptasi film ini? Ada baiknya anda jangan terlalu berekspektasi tentang berbagai detail dalam buku. Saya rasa anda sepakat bahwa buku dan film adalah dua medium yang berbeda, walaupun memiliki satu sumber cerita. Buku adalah satu hal, dan film adalah hal lainnya. Ada keterbatasan dan kelonggaran masing-masing. Terlebih memang sudah ada penekanan bahwa film ini adalah adaptasi lepas dari buku.

Terlepas dari berbagai ekspektasi yang mungkin tidak terpenuhi, saya jamin anda tidak akan menguap tanda kantuk saat melihat film ini. Pemberian proporsi lelucon yang pas membuat film ini sedap dinikmati. Saya juga merasa harus memberikan apresiasi kepada pemeran Aruna dan Bono. Aruna berhasil ─setidaknya menurut saya─ menjadi pengatur utama suasana hati penonton. Dengan sedikit gerak diwajahnya, misal sedikit gerak bola mata namun bisa memberi dampak signifikan pada scene yang berlangsung. Bono juga tampat sangat luwes berperan sebagai koki dengan detail yang mengagumkan. Sepertinya itu terbantu dari keseharian Nicholas Saputra yang memang hobi memasak. Tidak ada kekhawatiran karakter Cinta pada Dian Sastrowardoyo dan Rangga pada Nicholas Saputra dalam film “Ada Apa Dengan Cinta?” yang masih menggelayuti. Sejak adegan awal mereka bertemu di dapur, mereka sudah menjadi Aruna dan Bono.

Jadi apa makanan favoritmu di film ini? Atau ingin dengan siapa anda menikmati salah satu makanan di film ini?

Nanti Kita Sambat Tentang UU ITE

Jika kita membaca Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), bahkan setelah direvisi di tahun 2016 pada bagian umum disampaikan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi untuk kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan rasa aman, adil serta mempunyai kepastian hukum.

Saya rasa dasar dari adanya Undang-undang ini sangat baik dan bermanfaat di tengah era Teknologi Informasi ini. Tapi bagaimana penggunaannya yang sering disebut mengandung pasal karet? Disaat membahas seringnya penggunaan pasal karet inilah saya ingin sambat.

Kenapa jadi sambat? Jika kita melihat data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang saya kutip dari tirto.id ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak tahun 2008 dan hampir setengahnya menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. Tentu ini yang menjadi masalah karena disini yang sering terjadi masalah pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Seseorang bisa saja merasa tidak nyaman dengan pernyataan orang lain yang diungkapkan di sosial media bahkan bukan hanya di sosial media namun komunikasi elektronik yang bersifat privat pun seperti surat elektronik, pesan pribadi platform chat apapun bisa dilaporkan.

Satu tahun setelah undang-undang ini ada, di tahun 2009 Prita Mulya Sari harus berurusan dengan pasal ini. Ia dilaporkan Rumah sakit Omni Internasional karena mengirim surat elektronik berisi keluhan atas pelayanan rumah sakit tersebut ke beberapa temannya. Bayangkan untuk sambat dengan beberapa teman saja melalui surat elektronik bisa berurusan dengan hukum karena dianggap melakukan pencemaran nama baik yang diatur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hadeeeehhh, apalagi saya yang sambat di sini. Tapi tidak, saya tidak mencoba sambat tentang orang tertentu biar tidak repot karena nanti bisa dilaporkan.

Melihat pasal 27 ayat (3) UU ITE ini saya kira yang cukup bermasalah. Maknanya sangat powerfull untuk menghajar siapa saja yang dilaporkan. Bagaimana tidak, kalau kita melihat isinya disebutkan, “siapa saja yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana. Informasi elektronik di UU ini juga disebutkan adalah “satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Jadi intinya apapun yang kita kirimkan menggunakan sistem elektronik dan itu menyinggung orang lain yang mengakibatkan orang merasa terhina kita bisa dipidana.

Sedangkan kalau kita melihat dengan realita sekarang ini, apa saja bisa dilakukan dengan sistem elektronik. Hampir semua pertukaran informasi di zaman sekarang dilakukan dengan sistem elektronik entah itu smartphone dengan bermacam aplikasinya atau komputer. Mungkin satu-satunya pertukaran informasi non elektronik zaman sekarang adalah dengan ngobrol. Lagian siapa sih di tahun 2019 ini masih mainan surat kaleng? Mungkin disini kita bisa melihat celah, kalau mau gosip atau ghibah lakukanlah secara langsung jangan lewat grup Line atau Whatsapp, karena kalau ada yang screenshoot sudah cukup menjadi alat bukti kalau yang dighibahin merasa terhina.

Satu lagi mungkin yang ingin saya sampaikan yang mungkin membuat kita semua ingin sambat berjamaah. Ada fakta menarik tentang penggunaan pasal ini, dalam data yang sudah saya sebutkan diatas, pelapor terbanyak dalam kasus UU ITE adalah pejabat negara dan terlapor terbanyak adalah dari kalangan awam dan diikuti oleh aktivis, pelajar dan mahasiswa. Pelaporan pejabat disini terhadap terlapor awam berangkat dari kritik atas kinerja pejabat yang malah diarahkan kepada ujaran kebencian. Terus tidak boleh dikritik gitu? Terus bagaimana dengan pejabat mahasiswa yang mau melaporkan mahasiswa dengan menggunakan pasal karet? Haassshhhh Ramashookk

Banyak lagi kasus penggunaan pasal ini yang membuat kita ingin sambat. Contohnya saja kasus Baiq Nuril korban pelecehan seksual yang sedang mencari keadilan malah dilaporkan balik oleh pelaku karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Padahal banyak yang harusnya lebih bisa digunakan dengan undang-undang ini, contohnya pemberantasan konten bermuatan asusila dan perjudian yang masih banyak sekali berkeliaran di internet. Bagaimana tidak ingin sambat melihat kasus-kasus tersebut.

Sangat sulit untuk terlepas dari jerat UU ITE jika kita sudah terjerat, kemungkinan untuk lolos sangat kecil. Kalau saya sarankan untuk berhati-hati dan sopan dalam berpendapat itu sendiri sudah mencederai kemerdekaan mengemukakan pendapat. Jadi jika ingin mengkritik secara keras yang memungkinkan objek kritikan merasa sangat-sangat tersinggung lakukanlah secara offline. Berkumpullah, berdiskusilah dan debatlah secara langsung. Hadeeehhhhh dunia ini sudah mulai tidak masuk akal.

Mungkin lagi nanti kita sambat tentang UU ITE.

*Sambat adalah kosa kata dari bahasa jawa yang artinya mengeluh.

**Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Memudarnya Ruang Dialektika di UII

Himmah Online, Kampus Terpadu – Aliansi Demokratisasi Kampus dan komunitas Diskusi dan Penelitian (Dispensi) menyelenggarakan diskusi pada Selasa, 15 Januari 2019 dengan tema “Menjemput Ruang Kebebasan Berdemokrasi di Universitas Islam Indonesia (UII)”. Diskusi yang dimoderatori oleh Fakhrurrozi, mahasiswa Fakultas Hukum UII ini berlangsung di depan gedung Program Studi Ilmu Komunikasi UII.

Acara diskusi ini mengundang Alif Lukmanul Hakim, dosen Fakultas Teknologi Industri UII dan Mahendra Kusuma yang dari Kongres Politik Organisasi – Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP) sebagai pembicara.

Menurut Fakhrurrozi, diskusi kali ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait makna dari demokrasi secara luas. Salah satu latar belakang diskusi ini ada akibat tertutupnya tiang demokrasi di kampus yang menimbulkan keresahan mahasiswa yang ingin melakukan proses dialektika di ruang terbuka UII.

Menanggapi hal tersebut, Alif Lukmanul Hakim sebagai pembicara pertama saat itu memberikan pendapatnya. Ia beranggapan bahwa UII seharusnya sangat erat dengan demokrasi, karena demokrasi itu pada dasarnya berlandaskan dari pancasila. Pancasila itu sendiri memiliki makna terkait sosialis, lalu sosialis itu tidak luput dari keislaman. Maka dari itu UII sangat erat sekali dengan keislaman.

Sehingga menurut Alif, UII tidak boleh lepas dari demokrasi, “Islam itu adalah agama yang selalu mengedepankan pembahasan untuk mencapai kesepakatan,” tambahnya.

Selain itu, Alif juga menjelaskan bahwa untuk mencapai demokrasi, diperlukan perjuangan yang sangat panjang agar tujuan kesetaraan bisa tercapai. “Pada dasarnya demokrasi itu adalah hukum agar tidak ada kesenjangan dan hanya ada kesetaraan,” jelas Alif.

Lalu, Alif juga tidak luput untuk menyampaikan bahwa terkait cara memandang suatu masalah yang ada di UII, kita tidak boleh melupakan sebuah tujuan yang memang sudah penting untuk diperjuangkan. “Cara pandang kita boleh berbeda, tetapi kita harus mengedepankan ruang diskusi dan ruang dialog,” terangnya.

Pembicara kedua yaitu Mahendra kemudian menjelaskan terkait sejarah akan keberadaan demokrasi di dunia. Menurut Mahendra, demokrasi yang ada seharusnya didiskusikan untuk pengoperasiannya. Namun, yang terjadi saat ini banyak yang salah mengartikan demokrasi itu sendiri, hingga akhirnya ada masa yang terulang kembali ketika NKK/BKK diterapkan.

“ketika Normanilisasi Kehidupan Kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan (red-NKK/BKK) diterapkan, mahasiswa hanya difokuskan kepada tiga hal yaitu kuliah, minat, dan bakat. Persoalan politik tidak diperbolehkan sama sekali,” imbuhnya.

Maka dari itu, Mahendra berharap untuk para pejuang demokrasi yang ada di kampus jangan sampai hilang termakan angin, sebab banyak sekali kasus pelanggaran demokrasi yang menciderai demokrasi itu sendiri.

“Misal tahun 2015 yang paling banyak menghanguskan demokrasi kampus itu adalah birokrat kampus (red-kampus di seluruh Indonesia). Diskusi tentang 65 (red-gerakan 30 September 1965) dan LGBT (red-Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender) itu paling banyak dibubarkan,” ujarnya.

Kemudian, Papuji yang berasal dari Study Club Bundaran Kritik menambahkan pembahasan kasus terkait penarikan makna demokrasi yang lebih jauh dan pemaparan terkait sejarah berdirinya UII, “Banyak sekali penyimpangan demokrasi di UII ini, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri,” ucap Papuji.

Ilham pun turut ambil bagian untuk menceritakan keresahannya terkait pembungkaman ruang demokrasi yang ada di Fakultas Hukum (FH) UII, Ilham mengatakan bahwa hal itu sudah sangat lama terjadi di FH UII. “Buktinya banyak agenda kita yang di cap berbahaya. kalau diskusi dilarang itu kan berarti kita dilarang berpikir,”tegas Ilham.

Reporter: Ananda Muhamad Ismulia

Editor: Armarizki Khoirunnisa Damanik

Pemanggilan Balairung Melangkahi Regulasi Pers

0

Himmah Online, Yogyakarta – Aliansi untuk Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung, mengadakan konferensi pers pada hari Rabu (16/1) di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Pada saat agenda konferensi pers, acara dimulai dengan pemberian pernyataan dari perwakilan aliansi.

Yogi Zul Fadhli selaku direktur LBH Yogyakarta dan juga pendamping dua reporter Balairung menyampaikan bahwa pihak kepolisian daerah DIY gagal paham dalam penyelesaian kasus dugaan pemerkosaan yang terjadi di UGM.

Pada saat Citra memenuhi pemanggilan Polda DIY sebagai saksi, pada hari Senin (7/1), Yogi mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik, tidak sesuai dengan landasan pasal yang digunakan dalam surat pemanggilan. Pasal yang digunakan dalam surat pemanggilan tersebut adalah pasal 285 KUHP dan pasal 289 KUHP tentang pemerkosaan dan pencabulan. “Penyidik justru banyak mengulik isi berita dan proses reportase yang dilakukan oleh kawan-kawan Balairung dengan pertanyaan seperti siapa saja narasumbernya, dimana bertemu dengan narasumber, apa saja yang dikatakan, dan bagaimana cara bertemu dengan narasumbernya,” jelas Yogi.

Berdasarkan hal tersebut, pihak LBH Yogyakarta mendapatkan kesan bahwa penyidik seakan sedang mempersoalkan keberadaan Balairung melalui pemberitaannya. Pertama, hal tersebut diperkuat dengan pernyataan yang diberikan oleh Kombes Pol Hadi Utomo tentang mempertanyakan nomenklatur pemerkosaan, dan kedua bahwa Polda mencoba mengarahkan bahwa berita yang diterbitkan oleh Balairung merupakan berita hoaks. “Bahkan pada saat penyidikan, penyidik sampai menanyakan, apakah berita yang dipublis adalah hoaks atau bukan,” tambahnya. Hal tersebut justru menyimpang dari unsur-unsur perbuatan yang dilaporkan, yaitu terkait dugaan kasus pemerkosaan.

Penentuan saksi yang dilakukan oleh penyidik juga patut dipertanyakan. Tommy Apriando sebagai perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan bahwa Balairung seharusnya tidak termasuk ke dalam lingkaran saksi. “Kalau konteks saksi adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui suatu peristiwa, bahwa apa yang disampaikan oleh Balairung itu merupakan informasi dari korban,” jelasnya.

Tommy juga menambahkan, penyidik seharusnya lebih cerdas lagi dalam penentuan saksi yang hendak dipanggil, “(misalnya) komnas perempuan yang paham mendefinisikan (pemerkosaan) pada tulisan, ataupun memanggil ahli yang paham terkait hal tersebut,” jelasnya. Tommy menganggap penyidik telah salah kaprah, dengan mempertanyakan nomenklatur pemerkosaan kepada Balairung.

Pemberitaan yang dilakukan oleh Balairung merupakan bentuk dari kemerdekaan pers, seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999, dimana pada pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara dan disebutkan pula pada pasal 4 ayat 2 bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Selaras dengan undang-undang tersebut, Pito Agustin Rudiana dari Lembaga Bantuan Hukum Pers Yogyakarta mengatakan, “bahwa yang dilakukan oleh polisi merupakan perilaku offside, dimana setiap pemberitaan yang dilakukan oleh media, menjadi sarana bagi penyidik untuk memanggil penulis, maupun editor, atau pihak redaksi untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sudah ditulisnya.”

Menurutnya, penyidik seharusnya mengacu pada mekanisme yang ada, yaitu sesuai dengan nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri, dimana dalam nota kesepahaman pasal 4 ayat 2, apabila kepolisian mendapatkan aduan dugaan perselisihan atau sengketa termasuk surat pembaca atau opini antara wartawan atau media dengan masyarakat, maka akan diarahkan dengan cara bertahap melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi, aduan langsung kepada Dewan Pers, maupun melalui proses perdata.

Konferensi pers tersebut diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap, dimana terdapat lima tuntuan yang diajukan yaitu, menolak segala upaya pengaburan isu penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM, menuntut pihak-pihak berkepentingan untuk menuntaskan kasus Agni, mengencam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa, mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa, menolak kriminalisasi terhadap jurnalis BPPM Balairung. Terakhir, mendesak Rektor UGM untuk melindungi penyintas dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja pengungkapan kasus kekerasan seksual di UGM.

Pemanggilan Editor Balairung

Selain pemanggilan Citra Maudy, penulis berita “Nalar Pincang UGM atas Kasus Pemerkosaan” sebagai saksi, Polda DIY juga memanggil Thovan Sugandi selaku editor berita tersebut, sebagai saksi. Penyidikan tersebut dilakukan pada Kamis (17/1) di Polda DIY.



Yulianto selaku Kabid Humas Polda DIY, saat ditemui wartawan terkait pemanggilan editor BPPM Balairung yang dijadikan saksi kasus dugaan pemerkosaan, Kamis (17/1). Foto: Himmah/Jalaludin Al Ayubi

Ketika dikonfirmasi kepada pihak kepolisian terkait masuknya Balairung sebagai saksi kasus dugaan pemerkosaan, Kabid Humas AKBP Yulianto mengaku, bahwa Ia tidak mengetahua adanya aduan atau penyebutan nama Balairung pada saat pemeriksaan pelapor. “Saya tidak bisa memastikan apakah ada penyebutan nama Balairung oleh pelapor, karena saya tidak bisa sembarangan melihat berita acara pelaporan.”

Terkait pemanggilan Balairung sebagai saksi dalam pelaporan dugaan kasus pemerkosaan yang dialami AL, Balairung sebagai lembaga pers memiliki hak untuk menolak. Seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, pada pasal 1 ayat 10, dikatakan bahwa pers memiliki hak tolak, dimana jurnalis atas profesinya memiliki hak untuk tidak menyebutkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan “Dalam proses penyidikan, jurnalis dapat menggunakan hak tolak, nanti bisa dibuatkan berita acaranya,” ujar AKBP Yulianto.

Yogi Zul Fadhli yang ikut mendampingi Thovan pada saat penyidikan mengatakan, “tidak jauh berbeda pada saat penyidikan Citra, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masih kepada mengeskplorasi isi pemberitaan Balairung.” Yogi menambahkan, terkait pemanggilan dua reporter Balairung, keterangan yang didapatkan dari penyidik, bahwa pelapor – Arif Nurcahyo – selaku Kepala Satuan Keamanan Kampus Universitas Gajah Mada (SKK UGM) ini mendasarkan pada pemberitaan yang dipublish oleh Balairung.

Yogi mengatakan bahwa dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tidak semua dijawab oleh Thovan. Ia mengatakan Thovan memiliki hak untuk tidak memberikan keterangan, sesuai dengan hak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 pasal 1 ayat 10.

Reporter: Nalendra Ezra, Hana Maulina Salsabila, Ananda Ismulya, Yustisia Andhini L.

Editor: Zikra Wahyudi

Saat Persma Rentan Dikriminalisasi

Rabu, 16 Januari 2018, sejumlah massa dari Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta (AJI), Koalisi Masyarakat Untuk Udin (KAMU) dan beberapa jurnalis lainnya menggelar Aksi Enam Belasan di titik nol kilometer Yogyakarta. Aksi ini memperingati meninggalnya jurnalis harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin.

Dalam aksi tersebut, para relawan juga turut menyuarakan penolakan terhadap kriminalisasi Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung dan penuntasan kasus Agni. 

Tommy Apriando perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogkarta, mengatakan pihaknya menyayangkan tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap kemerdekaan pers. Selain itu Tommy mengatakan, tidak adanya perlindungan terhadap pers mahasiswa dalam Undang-Undang.

“Dalam konteks persma (red-pers mahasiswa), memang tidak dilindungi dalam Undang-Undang. Ketika tidak dilindungi, alternatifnya AJI bisa mendorong pers mahasiswa untuk bisa dimasukkan dalam Undang-Undang dengan merevisi. Namun ketakutan kita terhadap revisi Undang-Undang ini di kemudian hari, bukannya akan menjadi semakin baik namun semakin buruk,” ujar Tommy.

Tommy juga menambahkan, perlunya dorongan kepada Dewan Pers untuk melakukan tindakan dan terobosan untuk mediasi melalui Undang-Undang Pers untuk Pers Mahasiswa. “Sejauh ini belum ada tanggapan dari Dewan Pers, karena itu AJI Yogyakarta akan bertandang ke Dewan Pers dan berkoordinasi nantinya,” tambahnya.

Muhammad Ikhlas Alfaridizi , salah satu relawan Aksi Enam Belasan yang juga merupakan Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rhetor, mengatakan pihaknya mengecam kasus kriminalisasi dan pembungkaman terhadap pers mahasiswa. Menurut dia, kerapnya pembungkaman terhadap persma dikarenakan persma bukan merupakan badan yang legal sebagai media dalam kriteria Undang-Undang Pers.

“Padahal secara kerja-kerjanya kita sangat teguh dan berprinsip terhadap kaidah-kaidah jurnalistik. Bahkan hasilnya jurnalis persma dan jurnalis professional bisa diadu,” papar Fariz.

Aksi sore itu digelar sebagai bentuk respon dan solidaritas kepada jurnalis BPPM Balairung – Citra Maudy, yang dipanggil oleh Polda Provinsi D.I.Yogyakarta untuk diperiksa sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan yang dialami Agni. Citra dipanggil sebagai saksi berdasarkan laporannya yang berjudul Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan yang diterbitkan BPPM Balairung.

Dari press release resmi aksi yang mengutip pemberitaan kumparan.com, Hadi Utomo selaku Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Provinsi D.I.Yogyakarta mengatakan, institusinya memeriksa Balairung Press lantaran ada indikasi berita bohong dengan nomenklatur kalimat pemerkosaan.

Di akhir wawancara, Fariz berharap agar kedepannya para pers mahasiswa untuk tetap berjejaring dan solid karena kejadian-kejadian serupa akan sangat berpotensi terulang kembali. “Jangan sampai hubungan antar tiap-tiap persma tidak baik, karena kita perlu berkawan untuk melawan,” tutur Fariz.

Reporter: Yustisia Andhini L., Nalendra Ezra

Editor: Zikra Wahyudi