Masyarakat yang Mencandui Sekolah

Judul               : Sekolah Itu Candu

Penulis             : Roem Topatimasang

Tahun terbit     : 2002, cetakan keempat

Penerbit           : Pustaka Pelajar/Insist

Tebal               : xviii/139 halaman

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Roem Topatimasang sewaktu menjadi mahasiswa sekitar tahun 70an. Terdiri dari sebelas tulisan yang semuanya tentang fenomena persoalan dunia pendidikan saat itu. Penulis menganalisis secara kritis dan mendekontruksi sistem pendidikan yang justru kabur dari hakikat tujuan awal pendiriannya. Sialnya, pendidikan saat itu yang termanifestasikan dalam lembaga seperti sekolah dan universitas tak jauh berbeda dengan apa yang kita jalani saat ini sehingga buku ini layak untuk dibaca sembari kita merefleksikan tentang sistem pendidikan yang berjalan saat ini, di negeri ini.

Tulisan dibuka dengan prolog yang berkisah seakan naskah tulisan dalam buku ini terlarang. Sukardal, seorang petani yang merupakan toko fiksi dalam prolog yang hidup pada tahun 2222 sedang membongkar-bongkar bundel naskah usang berjudul “Sekolah” di gedung pencakar bumi Museum Bank Naskah Nasional di lantai minus 22. Begitupun pada epilog, setelah selesai membacanya Sukardal menyalin naskah tersebut lalu membuat forum diskusikan dengan menghadirkan seorang profesor dan masyarakat di Balai Pertemuan RT.

Tulisan pertama berisi tentang asal muasal kata dan konteks sekolah. Sekolah berasal dari bahasa latin, yakni skhole, scola, scolae atau schola yang secara harafiah berarti waktu luang atau senggang. Orang Yunani kuno biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Tulisan kedua membahas macam-macam sekolah. Ada sekolah yang tak memiliki daftar mata pelajaran resmi, tak punya kelas dan lain sebagainya yang berbeda dari sekolah-sekolah formal yang kita kenal saat ini.

Tulisan ketiga memaparkan keseragaman pakaian sekolah menyusul kewajiban-kewajiban berseragam lainnya. Tulisan keempat berisi percakapan seorang pensiunan dan temannya yang hendak mendirikan sekolah dengan keyakinan yang amat naif. Tulisan kelima tentang pengelolaan sekolah modern yang serupa dengan pengelolaan sebuah perusahaan.

Tulisan keenam berisi pendidikan anak-anak Palestina yang sudah mengenal kekerasan sejak di tenda-tenda pengungsian. Tulisan ketujuh tentang runtuhnya sekolah rakyat di pedalaman Sulawesi. Tulisan kedelapan memaparkan involusi sistem pendidikan nasional. Bahwa perubahan sistem dan manajemen sekolah selalu dievaluasi, namun tanpa kesadaran ideologis yang jelas hal itu hanya akan menyebabkan involusi.

Tulisan kesembilan yang menjadi judul buku ini membahas bagaimana pandangan masyarakat terhadap sekolah sehingga menjadi candu. Tulisan kesepuluh memaparkan bagaimana kematian sekolah dan tulisan kesebelas membahas alternatif mengembalikan sekolah kepada makna hakikat pendiriannya.

Sekolah Itu Candu

Apa yang membuat sekolah menjadi candu? Roem Topatimasang memulainya dengan cerita tentang Eko Sulistyo, anak berbakat yang baru lulus SMA. Pada catatan kaki, dijelaskan Eko mengumumkan hasil penelitiannya tentang pandangan kaum remaja mengenai kehidupan seksual. Hasil penelitian tersebut menimbulkan polemik dalam masyarakat karena dilakukan secara pribadi oleh Eko dan tidak seizin dari pihak sekolah serta dimuat secara eksklusif di koran-koran.

Penelitian yang menimbulkan polemik tersebut membuat Eko tak diterima bahkan ditolak terang-terangan oleh beberapa perguruan tinggi sebelum ia diberi kesempatan mengikuti ujian. Lalu banyak orang menyayangkan pihak perguruan tinggi sambil mengatakan “Bisa-bisanya, gimana sih?”

Pada suatu kesempatan, Eko diundang tampil menjadi panelis dalam suatu diskusi masalah kehidupan remaja di perguruan tinggi dan berdampingan dengan panelis lain yang terdiri dari para sarjana dan peneliti senior. Lalu banyak orang dengan salut mengatakan, “Nah kan!”

Meskipun begitu, Eko yang tidak diterima di perguruan tinggi hampir frustrasi dan menyatakan diri tak mau bersekolah lagi. Lalu banyak orang mengeluhkan keputusan Eko tersebut dengan mengatakan, “Yah, kasian, apa boleh buat.

Seorang rektor dari suatu perguruan tinggi akhirnya menerima Eko sebagai mahasiswa tanpa perlu mengikuti ujian saringan masuk. Lantas banyak orang serentak menarik napas lega. “Nah, gitu dong!”

Reaksi tersebut sangat wajar karena banyak orang mengatakan bahwa tempat yang tepat bagi perkembangan anak berbakat seperti Eko ialah sekolah ataupun perguruan tinggi. Mungkin hasil penelitian Eko akan diterima jika mendapat legalitas dari pihak sekolah. Pandangan inilah yang disebut sebagai kecanduan sekolah. Dalam KBBI, kecanduan adalah kejangkitan suatu kegemaran (hingga lupa hal-hal yang lain). Seperti orang yang kecanduan rokok, apabila tidak menghisapnya orang tersebut akan merasakan kecemasan dan kegusaran. Sekolah terlalu sering disesali, tapi pada saat bersamaan sekaligus juga didambakan. Sekolah seakan sudah mendarah daging sehingga terdapat anggapan bahwa sekolah tak pernah salah. Mereka yang tak menjalani, ditolak atau dikeluarkan oleh sekolahlah yang salah.

Demikianlah pemaparan Roem mengenai kisah Eko. “Sekolah memang telah terinternalisasikan sedemikian rupa dalam seluruh bagian kehidupan keseharian kita, melalui suatu proses sejarah yang panjang dan lama, yang sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan perseorangan dan perkauman kita, menjadi suatu imperatif budaya, semacam gejala “ketaksadaran kolektif”, sehingga setiap orang merasa kehilangan sesuatu yang teramat sangat bermakna bagi diri dan hidupnya, kehilangan peluang dan hak, jika ia gagal atau terputus di tengah jalan dalam mencapai suatu tingkatan sekolah tertentu. Apalagi, kalau lembaga sekolah sendiri yang terang-terangan menyatakan menolak, menampik dan menyisihkannya. Orang yang merasa seperti itu akan juga merasa terpaksa dan dipaksa menerima dua kenyataan pahit sekaligus: masyarakat akan mencapnya gagal dan, lama kelamaan, dia sendiri pun akan merasa dirinya memang telah benar-benar gagal dan sia-sia!” (hal 101)

Hakikat Bersekolah

Beberapa pekan yang lalu saya dan teman-teman Himmah sempat berkunjung ke sebuah Sekolah Alam Qoryah Thoyyibah, sebuah sekolah alternatif tingkat SMP dan SMA di Salatiga. Terdapat 25 murid yang berasal dari daerah sekitar Salatiga dan luar kota. Untuk  murid yang berasal dari luar daerah setempat, Bachrudin, sang kepala sekolah, menyediakan asrama. Sekolah—bisa juga hanya disebut kelompok belajar—ini tidak memiliki jadwal, mata pelajaran, seragam yang baku, dan tidak mengeluarkan ijazah. Adapun yang hendak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, pengelola sekolah bisa membantu murid untuk mengikuti paket C.

Sepekan sekali semua murid berkumpul untuk menentukan apa yang akan mereka pelajari seminggu ke depan dan mengevaluasi apa yang sudah dipelajari pada seminggu yang sudah dilewati. Setiap murid berhak menentukan apa yang akan mereka pelajari sesuai minat dan bakat mereka. Tidak ada guru, yang ada hanya pendamping. Pendamping hanya membantu dan memfasilitasi apa yang diminta dan dibutuhkan sang murid serta tak boleh “mendikte”. Beberapa pendamping mengakui hal itu justru yang paling sulit dilakukan.

Misalnya, seorang murid gemar terhadap pembuatan film. Maka, si murid harus mencari bacaan penunjang terkait dan jika perlu, pendamping akan mencarikan alumni sekolah atau temannya yang bergelut dalam dunia perfilman untuk bertukar pikiran dengan si murid. Semua murid diberi kebebasan dan dibiasakan mandiri untuk mendapat apa yang mereka inginkan.

Jika mengacu pada pandangan Paulo Freire tentang tujuan akhir upaya proses pendidikan adalah memanusiakan manusia atau pembebasan manusia dari situasi batas yang menindas dari luar kehendaknya, mungkin sekolah alam Qoryah Thoyyibah sudah menerapkannya.

Terlepas kita sepakat atau tidak, paradigma yang sering terjadi dalam masyarakat kita membuat gelar yang didapat dari institusi bernama sekolah sering kali hanya menjadi pendorong terhadap pembagian kelas-kelas dalam struktur kelas masyarakat. Gelar dijadikan sebagai tameng pengakuan. Akhirnya, lulusan sekolah hanya menjadi makelar para pemilik modal yang terus melanggengkan kesenjangan harta dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ironis, bukankah ini suatu pembodohan? Pikiran “makin pintar, makin kaya, makin berkuasa” harus dienyahkan karena tidak sesuai dengan moral dan etika ilmu pengetahuan itu sendiri. Kita harus kritis jika memang sekolah sudah melenceng dari hakikat pendiriannya. Sekolah bukan tempat sakral untuk masyarakat, bahkan jika sudah melenceng kita harus segera mempersiapkan alternatifnya. Orang yang gagal dalam sekolah bukan berarti gagal dalam masyarakatnya. Saya kira inilah yang ingin disampaikan oleh penulis dalam buku ini.

Meskipun termasuk tulisan ringan karena hanya setebal 139 halaman, tulisan-tulisan yang ada dapat digunakan sebagai pemantik untuk berdiskusi. Diskusi yang membuat kita memikirkan kembali hakikat dan tujuan terselenggaranya lembaga pendidikan bernama sekolah. Selamat membaca, selamat berdiskusi, tolak pembodohan!

Skip to content