Beranda blog Halaman 105

EDITORIAL: Buruh, Pengusaha, dan Pemerintah Harus Berjalan Harmonis

1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Kaum buruh di seluruh penjuru dunia memperingatinya dengan melakukan aksi. Tidak terkecuali di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, pengertian dari buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Tahun 2014dianggap sebagai tahun politik karena pada tahun inilah 5 tahun kedepan nasib Indonesia akan ditentukan. Di tahun-tahun politik seperti sekarang segala sesuatu cenderung dibawa ke ranah politis, termasuk buruh. Buruh yang dianggap sebagai kaum yang mudah dipengaruhi,seakan menjaditarget janji-janji manis bagi para calon pemangku jabatan. Upah kerja tinggi, penyediaan lapangan pekerjaan, kesejahteraan terjamin menjadi hal yang sering dilontarkan calon pejabat negara.

Indrayana selaku Sekretaris Jendral Serikat Pekerja Nasional saat menghadiri undangan di salah satu stasiun televisi swasta mengatakan bahwa buruh jangan dipolitisasi. Perwakilan buruh yang menandatangi perjanjian politik dengan presiden hanya menempatkan dirinya sebagai follower. Sedangkan perjanjian tersebut hanya menjadi kesepakatan tingkat elite politik buruh, tidak sampai pada tingkatan bawah.

Masih menurut Indrayana, survey yang dilakukan pemerintah terhadap buruh juga tidak berimbang. Buruh yang menjadi sasaran adalah buruh yang masih lajang. Padahaltingkat konsumsi buruh lajang dengan buruh yang sudah berkeluarga sungguh jauh berbeda. Disini kita dapat melihat survey yang dilakukan pemerintah kurang tepat sasaran.Tentu hasilnya juga tidak sesuai dengan realita, dan imbasnya pemerintah menjadi tidak merata dalam mensejahterakan buruh.

Neoliberalisme yang sudah berada di depan mata menuntut Indonesia untuk membuka diri dan mampu bersaing dengan negara lain. Melihat realita sekarang ini, memang dirasa Indonesia belum siap menghadapitantangan pasar global. Namun, jika memang Indonesia akan dibawa menuju pasar global, maka menjadi tugas berat pemimpin yang terpilih nanti untuk mampu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan.Produk yang berkualitas akan ada jika pekerja/buruh berkualitas pula. Tidak terlepas dari itu saja, harus ada hubungan harmonis antara 3 komponen didalamnya, yaitu pemerintah, pengusaha,dan pekerja. Antara satu sama lain jangan sampai ada yang dirugikan. Kebijakan ekonomi ke depanmutlak menjadi kewenangan dari pemimpin Indonesia selanjutnya,apakah tetap membawakita bertahan dengan ekonomi kapitalis atau merubahnya dengan ekonomi kerakyatan.

Redaksi

Serikat Mahasiswa Peringati Hari Buruh Internasional

Salah satu orator aksi perwakilan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Yogyakarta menyuarakan hak-hak kaum buruh yang harus diperjuangkan demi peningkatan kualitas hidup para buruh dalam aksi unjuk rasa Hari Buruh Internasional (01/05). (Foto oleh: Putri Werdina C.A)

Salah satu orator aksi perwakilan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Yogyakarta menyuarakan hak-hak kaum buruh yang harus diperjuangkan demi peningkatan kualitas hidup para buruh dalam aksi unjuk rasa Hari Buruh Internasional (01/05). (Foto oleh: Putri Werdina C.A)

Oleh: Putri Werdina C. A.

Yogyakarta, HIMMAH ONLINE.

Hari Buruh Internasional yang jatuh pada Kamis (01/05), diperingati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk para mahasiswa. Mahasiswa dari kalangan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), FLLMI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia) di beberapa universitas di Yogyakarta seperti UAD (Universitas Ahmad Dahlan), INSTIPER (Institue Pertanian Yogyakarta), UIN (Universitas Islam negeri), UII (Universitas Islam Indonesia) melakukan aksi demonstrasi tepat di nol kilometer kota Yogyakarta pukul 11.00 WIB.

Mekanisme dalam unjuk rasa kali ini, dijelaskan oleh koordinator aksi, Aka Pahlevi mahasiswa UII Fakultas Hukum angkatan 2010, bahwa rencana awalnya melakukan aksi demo bersama dengan koalisi rakyat bersatu. Namun, menurut Aka karena suasana disana tidak kondusif dan cenderung ke arah anarkis, maka diputuskan untuk melakukan aksi sendiri. Mengenai perijinan, Aka menuturkan bahwa telah mendapatkan izin dari kepolisian setempat untuk melakukan aksi. “Tiga hari yang lalu bersama aliansi buruh, kami telah mengirimkan pemberitahuan kepada kepolisian terkait” tuturnya. Aka menambahkan setelah pukul 16.00 WIB, aksi demo di nol kilometer akan selesai.Selanjutnya masih ada unjuk rasa lanjutan di daerah Tugu Yogyakarta yang di pimpin oleh Eko Prasetyo dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yogyakarta

Selain itu, salah satu orator aksi, Eko Gustanto, mahasiswa INSTIPER menuturkan tujuan dari adanya aksi ini adalah untuk menyuarakan hak-hak kaum buruh, seperti upah kaum buruh saat ini masih kurang dari standar. “Kami ingin upah mereka itu lebih dari UMR (Upah Minimum Regional) karena untuk UMR Jogja sendiri itu sangat kecil” tutur Eko. Eko menambahkan tujuan lainnya adalah mengharap adanya pembeda antara upah buruh yang sudah menikah dengan yang lajang, karena saat ini upah buruh lajang dengan yang menikah berjumlah sama. “Tunjangan-tunjangan juga harusnya diberikan sebagai bentuk kemanusiaan, selain itu adanya cuti hamil bagi kaum buruh wanita yang harusnya diperpanjang” lanjut Eko.

Buruh Masih Merasa Terdiskriminasi

Seluruh Asosiasi Buruh Yogyakarta yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menggelar acara peringatan Hari Buruh Internasional di halaman gedung Dewan Perwakilan Daerah Yogyakarta (DPRD), pada Kamis (01/05). (Foto oleh: Putri Werdina C. A.)

Seluruh Asosiasi Buruh Yogyakarta yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menggelar acara peringatan Hari Buruh Internasional di halaman gedung Dewan Perwakilan Daerah Yogyakarta (DPRD), pada Kamis (01/05). (Foto oleh: Putri Werdina C. A.)

Oleh: Putri Werdina C. A.

Yogyakarta, HIMMAH ONLINE

Momentum Hari Buruh Internasional (May Day) yang jatuh pada Kamis (01/05) dimanfaatkan oleh para asosiasi buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seperti (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) SPSI dan KSPI (Konfederasi Seluruh Pekerja Indonesia) untuk menggelar acara yang bertemakan ‘Buruh Jogja Istimewa’.

Acara ini bertempat di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY. Tepat pukul 07.00 WIB, mereka melaksanakan jalan santai, dilanjutkan dengan sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY, pidato para ketua asosiasi buruh, serta hiburan.

Bukan hanya kalangan buruh, dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua pun ikut memadati kawasan halaman gedung DPRD DIY untuk mengikuti acara tersebut.

Terkait kesejahteraan buruh sendiri, seorang buruh industri rumah tangga bernama Maryanto yang tergabung dalam SPSI mengatakan bahwa saat ini sebagian perusahaan belum menyejahterakan buruhnya. “Seharusnya apa yang didapatkan para buruh itu sesuai dengan yang dilakukan oleh mereka. Masih banyak buruh di Yogyakarta yang upahnya tidak sesuai dengan Upah Minimum Pendapatan” ungkapnya.

Selain itu, seorang mantan buruh pabrik yang bernama Ani mengungkapkan bahwa kaum buruh saat ini masih mengalami diskriminasi. “Di tempat kerja, terutama pabrik besar, mereka hanya diperlakukan sebagai mesin, seolah mereka tidak diperlakukan sebagaimana manusia adanya.” Ia juga mengatakan bahwa saat ini persoalan buruh masih belum ditanggapi serius oleh pemerintah. “Penyelesaian persoalan buruh dari tahun ke tahun belum berdampak apa-apa bagi sebagian besar buruh. Seperti masalah upah yang belum sesuai standar UMP dan masalah belum adanya tunjangan. Pemerintah kurang serius menangani hal ini dan ke depannya akan selalu menjadi PR (Pekerjaan rumah-red) bagi pemerintah yang tidak pernah tuntas” imbuhnya.

Berbanding terbalik dengan Bu Ani, istri seorang buruh pabrik, yang mengungkapkan bahwa ia merasa telah cukup dengan penghasilan suaminya. “Saya merasa sudah cukup dengan upah bekerja suami. Pasalnya, perusahaan telah memberikan tunjangan-tunjangan lainnya, seperti tunjangan keluarga dan tunjangan masa kerja yang memang cukup bagi membiayai keperluan sehari-hari” ucapnya.

Reportase bersama Siti Nur Q.

Mahasiswa Menuntut Transparansi Beasiswa Unggulan Dikti

fauzi

Edi Suandi Hamid menemui masa aksi, Rabu (26/03). Para demonstran meminta tranparasi mengenai kinerja tim pencari fakta tentang beasiswa unggulan Dikti.
(Foto oleh: Fauzy Farid M.)

Oleh: Novita Dwi K. Kampus Terpadu, HIMMAH ONLINE 

Rabu (26/03), Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) mengadakan aksi demonstrasi menuntut transparansi dana beasiswa unggulan UII dari Dikti di depan Gedung Kuliah Umum Sardjito (GKU).

Berdasarkan press release, pada aksi ini KM UII menuntut dua hal, yaitu meminta informasi dan data dari tim pencari fakta kasus ini serta menuntut senat universitas agar menindaklanjuti hasil yang mereka peroleh secara objektif.

Rektor UII, Edy Suandi Hamid pun angkat bicara di depan peserta aksi. “Saya akan bergerak kalau ada unsur yang menyimpang, walaupun saya sudah tidak menjadi rektor lagi,” kata Edi. Ia menegaskan, jika ada pihak yang terbukti bersalah, maka akan ditindaklanjuti sesuai aturan hukum. Namun, jika senat yang terbukti menyeleweng, maka ini menjadi kewenangan badan wakaf untuk mengambil sikap.

Di depan peserta aksi, Bachnas selaku Wakil Rektor III mengatakan bahwa UII tidak ingin menuduh siapa pun. Saat ini, pihak rektorat sudah mendatangkan alumni popular untuk menentukan langkah-langkah apa yang akan diambil. “Ada 10 orang yang harus dicek, sehingga ini membutuhkan waktu lama” imbuhnya.

Ketua DPM-U, Fuad, mengaku  pihaknya sudah dua kali mengirim surat kepada rektorat perihal masalah ini, namun tidak ada tanggapan. “Di dalamnya tertulis bahwa jika surat ini tidak digubris, kami akan mengambil langkah selanjutnya,” ujar Fuad.

Sebelum mengirimkan surat tersebut, DPM-U telah mengumpulkan seluruh pihak DPM-F untuk menyelidiki isu penyelewengan beasiswa unggulan dari Dikti. Namun, dari semua fakultas, hanya tiga saja yang melampirkan data jumlah mahasiswa beserta nominal beasiswanya. Selain dari tiga fakultas tersebut, pihaknya hanya mendapatkan informasi dari dekan setiap fakultas. “Beasiswa ini merupakan dana hibah. Rektorat dan fakultas hanya sebagai perantara,”kata Fuad.

Salah satu peserta aksi, Agung Pananrang menginginkan adanya transparansi dalam rapat senat tersebut. “Apapun yang ada di rapat senat, harus diberi tahu kepada mahasiswa, sehingga bisa terkuak semua. Yang salah tetap salah, yang benar tetap benar,” ungkap mahasiswa Manajemen angkatan 2010 ini.

Menjelang Pesta Demokrasi UII

Kampus Terpadu, HIMMAH ONLINE
Oleh : Ferry Firmansyah Aditya

Kamis (20/3), bertempat di kantor Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII), beberapa orang dari tim Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pemilihan Mahasiswa tampak mempersiapkan terkait Pesta Demokrasi mahasiswa UII yang akan diadakan bulan Mei mendatang. 1 April 2041 nanti KPU akan melaksanakan  pembukaan perdana KPU dan sosialisasi mengenai regulasi dan syarat jadi calon, serta teknis pencoblosan kepada mahasiswa.

Menurut Muktar Yogasara, selaku ketua KPU, regulasi tahun ini akan dibuat berbeda dengan periode lalu. Periode sebelumnya KPU mempunyai wewenang tidak meloloskan calon yang mengajukan diri disamping penilaian dari segi administrasi. Regulasi pada periode ini masih dalam tahap pembahasan dijajaran KPU. “KPU juga masih membahas terkait pembentukan tim ahli seleksi yg terdiri dari dosen-dosen aktif di kemahasiswaan. Rencananya tiap fakultas diwakili dua orang dosen” tutur Yoga.

Yoga menambahkan golongan putih (golput) yang terjadi di kalangan mahasiswa sudah biasa terjadi dan ini semakin riskan. Menurut data yang diperoleh KPU, pada tahun 2012, dengan asumsi 5.000 mahasiswa per angkatan dengan total 20.000 mahasiswa aktif, hanya 3.400 mahasiswa yang  memberikan suaranya. Tahun 2013 mahasiswa yang memilih naik sekitar 30% menjadi 4.400. Ditargetkan pemilih tahun ini mencapai 5.000 sampai 10.000. KPU berharap ditahun ini tidak ada lagi mahasiswa yang golput, agar semua mahasiswa terwakili aspirasinya.

Anggota KPU sendiri terdiri atas dua orang delegasi dari masing-masing lembaga-lembaga yg ada di bawah Keluarga Mahasiswa (KM ) UII. Di dalam KPU terdapat tiga divisi yaitu, regulasi, sosialisasi dan penyuluhan, serta logistik dan Panitia Wilayah (Panwil).

Wakil Rektor Terpilih adalah yang Terbaik

Hadri Kusuma rektor terpilih, sudah mendapatakan nama-nama wakil rektor terpilih yang akan mendapinginya diperiode 2014/2018 dalam rapat pemilihan wakil rektor, selasa lalu.

Hadri Kusuma rektor terpilih, sudah mendapatakan nama-nama wakil rektor terpilih yang akan mendampinginya di periode 2014/2018 dalam rapat pemilihan wakil rektor, Selasa lalu.
(Foto oleh: Siti Nur Qoyimah)

Oleh: Putri Werdina C. A.

Condong Catur, HIMMAH ONLINE

Berdasarkan keputusan rapat senat mengenai pemilihan wakil rektor pada Selasa (18/3), telah terpilih tiga orang yang mendapatkan suara tertinggi dari pihak senat untuk menjabat sebagai wakil rektor Universitas Islam Indonesia (UII) periode 2014/2018. Adapun yang terpilih sebagai wakil rektor I bidang akademik ialah Ilyas, wakil rektor II bidang keuangan ialah Nur Feriyanto, dan wakil rektor III bidang kemahasiswaan ialah Abdul Jamil.

Mekanisme pemilihan wakil rektor ini dijelaskan dalam peraturan Badan Wakaf No. 03 tahun 2009, dimana nama-nama calon wakil rektor akan diajukan oleh rektor terpilih dengan minimal mengajukan dua nama calon di setiap bidangnya. Hadri Kusuma sebagai rektor terpilih sejak tanggal 24 Febuari 2014 lalu, memutuskan untuk mengajukan sembilan nama calon wakil rektor, dimana untuk setiap jabatan wakil rektor terdiri atas tiga calon. Menurutnya, “UII saat ini memiliki banyak dosen yang memenuhi kualifikasi sebagai wakil rektor, dan banyak juga dosen-dosen yang kompeten di bidangnya. Oleh karena itu, apa salahnya kita mengajukan sebanyak-banyaknya nama calon wakil rektor dalam pemilihan wakil rektor periode ini. Semakin banyak pilihan yang baik, tentu akan semakin baik.”

Dalam mengajukan nama calon wakil rektor, Hadri Kusuma mempertimbangkan beberapa hal seperti adanya distribusi fakultas yang ada, dimana dosen yang kompeten dan masuk kualifikasi di setiap fakultas mendapatkan kesempatan untuk menjadi wakil rektor. Kemudian mengenai adanya lintas generasi, “Tidak hanya yang seumuran saja yang saya ajukan sebagai calon wakil rektor, tetapi juga yang umurnya berada di atas ataupun dibawah umur saya, agar tercipta keseimbangan,” tuturnya. Namun yang terpenting menurutnya ialah kompetensi dan pengalaman yang mereka miliki.

Mengenai nama-nama wakil rektor yang terpilih siang tadi pun, ia mengungkapkannya dengan rasa bangga, “Semua yang terpilih adalah yang terbaik. Harapan pribadi saya adalah dimana kita ini team work, dan team work harus bisa saling menutupi kelemahan masing-masing dan mencoba mencapai keberhasilan secara bersama-sama,” ungkapnya.

Reportase bersama: Siti Nur Qoyimah

Naik Turun Hidup Ridwan

Kisah manusia yang menggantungkan hidup dari barang rongsok.

Oleh: Asyharuddin Wahyu Y.

Pukul 19.45 malam, Ridwan, pria berbadan kurus dengan kumis tipis yang mulai memutih dan berkulit coklat gelap masih sibuk dengan pekerjannya. Di depan kamar kos berukuran 3×8 meter, bermodalkan papan dengan paku di atasnya, Ridwan meluruskan kembali besi bekas yang ia beli dari pedagang rongsok. Harganya Rp. 5000,- per kilonya. Berbeda dengan warga lainnya yang memilih beristirahat, Ridwan justru lebih memilih bekerja dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Besi-besi yang sudah diluruskan itu tidak langsung dijual kembali. Melainkan akan dibuat ulang menjadi sebuah pondasi baru untuk dijual kepada toko bangunan. Harga satu pondasi ia jual sekitar Rp 7000,- per kilonya. Bila dirasa pondasinya kecil, maka akan dijual dengan harga Rp 10.000,- per meter. Bukan itu saja pekerjaan yang dilakukan pria 50 tahun ini.  Kadang ia mesti mencari kerja serabutan demi menambah penghasilan. Imbasnya penghasilan yang ia dapat pun menjadi tidak pasti.

“Penghasilan per hari saya sekitar 70-100 ribu Mas, itu pun kalo lagi banyak kerjaan. Namanya kehidupan Mas,” tuturnya sembari meluruskan besi.

Pada tahun 1990, ia dan istri pertamanya memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta. Mereka tinggal disalah satu sanak keluarga sang istri yang saat itu menjadi juragan rongsok. Selama di Yogyakarta, Ridwan mengikuti pelatihan sebagai buruh dan ikut dalam “Perkumpulan Raja Rongsok”. Selama satu tahun Ridwan bekerja sambil belajar bisnis kepada Paman dari istri pertamanya. Setelah satu tahun bekerja, Lelaki asal Madura ini lebih memilih untuk membuka usaha sendiri dan mencoba peruntungan sebagai juragan rongsok.

Tidak mudah bagi Ridwan membangun rongsoknya sendiri kala itu. Hanya bermodalkan upahnya selama satu tahun menjadi buruh rongsok, ia memberanikan diri untuk mulai membangun usahanya. Usaha yang ia rintis berhasil. Ridwan merasakan masa kejayaannya setelah usahanya berjalan sekitar 4 tahun. Dari situlah dia bisa memiliki rumah dan mobil pribadi sendiri. Setelah itu ia terus mengembangkan usaha miliknya.

Ridwan mengaku kurang bisa membaca dan berpendidikan rendah. Meskipun begitu hal itu bukanlah alasan untuk tidak sukses. Ketika kecil, jarak rumah yang jauh membuatnya malas sekolah. Ia lebih memilih nongkrong di warung sembari menunggu teman-temannya pulang. Tugas-tugas sekolah ia kerjakan dengan menyontek hasil kerjaan teman. Alhasil sampai sekarang dia tidak bisa membaca tulisan yang panjang. Hanya tulisan pendek seperti rambu lalu lintas saja yang bisa ia baca.

Kesuksesan yang sudah ia raih tiba tiba saja menghilang. Pada tahun 2005 istri pertama Ridwan meninggal. Dan tanpa alasan yang jelas usaha yang sudah ia bangun selama 14 tahun bangkrut dalam seketika. Rumah dan mobil miliknya akhirnya terpaksa dijual untuk menyambung hidup.

Merasa malu dengan teman-temannya karena sudah bangkrut,  Ridwan memutuskan pindah. Sekarang Ridwan tinggal di Desa Karangdhowo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo. Lelaki paruh baya kelahiran 1964 ini menyewa kamar kamar kos dengan tarif Rp 150.000 per bulannya. Setelah istri pertamanya meninggal ia menikah lagi. Ia memiliki tiga anak dari istri pertama. Mereka mengenyam pendidikan hanya sampai SMP, itu pun tidak sampai lulus. Bukan berarti kurang biaya, melainkan memang malas sekolah. Ketiganya sekarang lebih memilih tinggal di Jogja untuk alasan bekerja.

Sedangkan istri keduanya ia suruh untuk tetap tinggal di daerah asalnya Jepara, Jawa Tengah untuk menunggu masa panen tiba. Ridwan kini memulai kehidupanya lagi dari nol, sembari berharap masa jayanya dulu bisa terulang kembali.

Cerita dari Lapak Pasar Malam

Erman tidak mau berleha-leha meski anaknya sudah berkecukupan.

Oleh: Galuh Ayu P.

ERMAN memakai kemeja putih rapi, celana kain berwarna biru, dan sandal bermerk “Swallow”. Bapak yang sudah beruban dan berumur 55 tahun ini, dengan ramah menawarkan barang dagangannya kepada orang-orang yang berhenti di depan lapaknya. Erman berharap ada orang yang berkenan membeli. Di lapaknya, Erman menjual poci, alat yang biasanya digunakan untuk menyeduh teh.

Poci-poci itu bukan Erman sendiri yang membuat. Ia membeli dari saudaranya, kemudian ia jualnya kembali. Erman membeli poci dari saudaranya dengan harga lima ribu rupiah per buahnya. Poci yang ia jual terbuat dari tanah liat pilihan.

Untuk membuat sebuah poci, tanah liat tersebut harus direndam dahulu. Sesudahnya disaring, baru diangkat dan kemudian dijemur hingga tanahnya menjadi agak kering. Jika hari sedang cerah, cukup diperlukan waktu selama dua hari untuk menjemurnya. Namun bila musim penghujan datang, waktu yang dibutuhkan bisa sampai satu minggu.

Setelah agak kering, barulah tanah tersebut dibentuk menjadi sebuah poci menggunakan mesin putar. Diperlukan keterampilan dan keluwesan tangan untuk membentuk tanah liat sampai menjadi sebuah poci. Kemudian jika sudah jadi, poci dipanggang menggunakan LPG agar mengeras dan siap dipasarkan.

Kekhasan poci yang dijual oleh Erman terletak pada tanah liat yang dipakai untuk membuat pocinya. Tanah liat yang digunakan benar-benar masih alami karena tidak dicampuri dengan bahan penguat ataupun pewarna. “Menggunakan bahan-bahan tersebut dapat mempengaruhi aroma dan cita rasa teh yang nantinya diseduh di dalam poci,” jelas Erman.

Rumah Erman bertempat di Kec. Klampok, Kab. Banjarnegara. Lelaki asli Tasikmalaya ini tinggal bersama istri dan satu cucu perempuannya yang sedang duduk di sekolah dasar. Istrinya mempunyai sebuah usaha catering. Dua orang anak perempuan dan satu anak laki-lakinya merantau ke Jakarta dan sudah bekerja di sana.

***.

MALAM itu alun-alun Wates, Kulonporgo sedang ada pasar malam. Alun-alun ini berada tepat di sebelah utara Stasiun Wates- dua puluh lima kilometer dari kota Jogja. Sudah satu minggu pasar malam terselenggara di sana. Ramai suara mesin-mesin permainan terdengar. Ada perahu kora-kora, kincir angin, odong-odong, dan beberapa permainan lainnya. Selain itu banyak penjual yang membuka lapak, mereka berlomba-lomba menawarkan barang dagangannya. Salah satunya lapak milik Erman, ia meletakkan poci-pocinya di atas sebuah meja kecil. Erman mulai membuka lapaknya dari jam lima sore sampai jam sembilan atau jam sepuluh malam.

Dari tahun 1998 Erman mulai berjualan poci. Erman biasanya berjualan poci dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya. Pernah ia berjualan di pasar malam di Wonosari, Bantul, alun-alun Jogja, Solo, hingga Wonogiri. Erman membawa poci-pocinya dengan sebuah kardus dan menempuh perjalanan dengan menggunakan bis

Meskipun jenis barang yang dijual berbeda dari lapak yang lainnya, poci Erman cukup membuat beberapa pengunjung pasar malam tertarik untuk membelinya. Erman tidak mematok harga yang terlalu mahal. Dengan harga sekitar dua puluh ribu hingga tiga puluh ribu rupiah, sebuah poci sudah bisa berada di tangan pembeli. Jika sang pembeli pintar menawar, poci bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah. “Yang penting  sudah dapat untung,” ujar Erman. Poci Erman mala mini cukup laku.

Erman tidak ada kerabat di Wates. Setelah pasar malam tutup tiap harinya, Erman menutup lapak dan pergi ke Masjid Jami’. Ia tidur di sana. Sebelumnya ia sudah meminta izin terlebih dahulu kepada penjaga masjid.

Ketika adzan subuh berkumandang, Erman bangun dan menunaikan sholat. Setelah sholat Erman bersih-bersih masjid. Kemudian pergi ke pasar membeli sarapan. Kembali ke masjid dan menunaikan sholat Dhuha. Kadang sesudah itu Erman kembali tidur lagi, atau sekedar mengobrol dengan orang yang ada di masjid. Itulah kegiatan Erman selama di Wates sembari menunggu jam lima sore, ketika ia mulai membuka lapaknya kembali.

Meskipun harus berjualan dan tidur di masjid, Erman senang dengan usahanya. Dengan berjualan poci itulah Erman mampu menyekolahkan anak-anaknya, hingga mereka mendapatkan pekerjaan seperti sekarang ini. Hanya saja ada beberapa kendala yang kadang dialami Erman ketika membawa poci-poci dari rumahnya.

“Kadang capek, harus angkat junjung barang, soalnya berat. Apalagi kalau ada yang pecah di jalan. Ya itu tetap saya laporkan pihak pabrik. Diganti yaa alhamdulillah, kalau nggak yaa saya nggak papa. Rezeki ada di tangan Allah. Terus kendalanya kalau musim hujan itu repot, pasar malamnya jadi sepi,” jelas bapak berkulit putih ini.

“Pak, anak-anak bapak kan sudah mapan semua. Kenapa bapak masih susah-susah berjualan poci di pasar malam?” tanya salah seorang teman saya, Kholid.

“Sebenarnya anak-anak sudah melarang saya. Yaa saya jawab iya-iya saja. Tapi saya nekat. Itung-itung buat kegiatan sama hiburan, soalnya kalau terus-terusan di rumah saya jenuh. Omset jualan poci juga bagus, konsumennya banyak. Malah sama pemerintah disuruh memperbesar usahanya. Cuma karyawannya kurang, jarang ada yang bisa bikin poci. Terus kalau semisal nggak ada pasar malem yaa saya di rumah. Bantu-bantu istri jualan catering. Tapi saya seneng kok jualan poci di pasar malem. Soalnya di sini rame, jadinya bisa nambah banyak temen,” jawab Erman dengan tersenyum.